Bodo Amat


Masih ingat pos berjudul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat? Pos #SabtuReview yang belum sempurna karena saya belum selesai membacanya tapi pengen banget menulis proses memperoleh buku keren yang satu ini, yang diberikan oleh sahabat saya Ferdinandus Setu. Hyess, the story behind the book. Pada akhirnya saya menyempatkan membaca buku ini setiap ada waktu luang-pendek misalnya jeda selama perjalanan, nongkrong di kantin, atau sebelum tidur malam. Bisa menyelesaikan buku yang ditulis oleh Mark Manson ini merupakan pengalaman mental yang ausam. Menurut saya. 

Baca Juga: The Book of Origins

Jadi, apa saja yang bisa saya tulis dari hasil membaca tuntas Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat? Mari kita cek ...

About Mark Manson


Seorang blogger. Yang akan mengingatkan kita pada Raditya Dika, pada Kerani dari ChaosAtWork (My Stupid Boss), pada Trinity. Tulisan-tulisannya di blog didominasi dengan aneka tips dan/atau motivasi menarik tentang menjalani hidup, tanpa terkesan menggurui, dan menulisnya dari sudut pandang berbeda. Silahkan cek sendiri di sini.

Diambil dari blog Mark Manson.

Tulisan-tulisan di blog itu kemudian dijadikan buku dengan judul The Subtle Art of Not Giving a F*ck. Yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat. 

Diambil dari blog Mark Manson.

Life is not about getting rid of problems, it's about finding better problems. It's not about avoiding failuer, it's about getting better at failure. Terjemahan bebasnya: bodo amat! Hahaha. Sampai sekarang Mark Manson masih terus menulis blog-nya dengan konten-konten menarik. Silahkan dibaca. Kalau kesulitan sama bahasa Inggris, buka kamus.

Di Atas Langit Masih Ada Langit


Kalian pasti sering mendengar istilah: (janganlah terlalu dipikirkan) di atas langit, masih ada langit. Itu kesan pertama saya membaca buku ini. Kita cenderung terlalu fokus pada satu masalah. Terlalu fokus dari satu sudut pandang saja. Dan, dan tanpa sadar alam bawah sadar kita menolak untuk berpikir dari sudut pandang berbeda. Sudut pandang berbeda akan menunjukkan pada kita, sebenarnya, bahwa masalah yang sedang dihadapi itu ternyata tidak seberapa dibanding masalah lainnya yang jauh lebih besar/sulit.

Contohnya: empat bungkus nasi kuning bekal perjalanan yang dititip di sepeda motor saya jatuh di daerah Desa Moni, sementara para pengendara sepeda motor lainnya pasti berharap nanti sarapan dengan nasi kuning itu saat istirahat di daerah Wolowaru. Apakah nasi kuning yang jatuh itu masalah besar? Tidak, ketimbang memikirkan nasi kuning yang jatuh dan terlindas sepeda motor itu, kami lebih memikirkan tentang kehati-hatian berkendara lintas Pulau Flores dan berharap tidak ada seorang pun yang mengalami nasib buruk dalam perjalanan jauh dari Kota Ende ke Kota Maumere. Karena kecelakaan lalu lintas, apalagi berakibat pada kematian, merupakan masalah yang sangat besar jika dibanding empat bungkus nasi kuning.

Jadi, masih ada masalah yang, ke depannya bisa jadi, lebih besar dari sekadar jatuhnya nasi kuning di Desa Moni. 

Seni #2: Untuk bisa mengatakan "bodo amat" pada kesulitan, pertama-tama Anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan (Mark Manson, 2018:19).

Hidup memang sulit. Lantas, apakah kita hanya akan memikirkan tentang kesulitan hidup saja? Bangkitlah, masih ada yang lebih sulit dari kesulitan kita, misalnya orang-orang yang negaranya masih berperang. Mereka belum bisa memikirkan tentang tabungan emas Pegadaian, misalnya, mereka masih memikirkan tentang rumah ... apakah keesokan hari rumah mereka masih berdiri atau malah rata dengan tanah akibat dihantam granat atau bom. Atau, apakah besok mereka masih hidup?

Kira-kira hal-hal semacam itulah.

Menghadapi Masalah Adalah Jalan Menuju Bahagia


Ketika kita dihadapkan pada masalah, rasanya dunia runtuh, marah, kesal, tak henti-hentinya mengomel. Beberapa orang cenderung untuk lari dari masalah alias membiarkannya saja tanpa upaya untuk menyelesaikannya. Mereka berpikir bahwa lebih bahagia dengan tidak menyelesaikan masalah itu. Lupakan. Tapi justru itu letak masalahnya ... karena kita tidak akan bahagia hanya dengan membiarkan suatu masalah. Karena menyelesaikan masalah merupakan pengalaman positif yang baik untuk diri kita.

Nilai-Nilai Sampah


Dalam menjalani hidup tidak disadari kita dibendungi oleh nilai-nilai sampah. Apakah nilai-nilai sampah itu? Ada empat nilai sampah yang ditulis oleh Mark Manson yaitu:

1. Kenikmatan.
2. Kesuksesan material.
3. Selalu benar.
4. Tetap positif.

Menariknya adalah penjelasan tentang tetap positif. Bukankah kita sering sekali memotivasi diri sendiri untuk tetap positif? Mark Manson menulis bahwa pengingkaran terhadap emosi negatif menuntut kita untuk mengalami emosi negatif yang lebih dalam dan berkepanjang, serta disfungsi emosional. Terus menerus bersikap positif justru merupakan salah satu bentuk pengelakan terhadap masalah, dan bukan cara yang tepat untuk menyelesaikannya. Contoh yang dilampirkan Mark Manson adalah bahwa ketika kita marah pada seseorang, itu alami karena kemarahan adalah bagian dari kehidupan. Tapi ketika kita memilih untuk tidak memukul seseorang karena marah itu adalah pilihan tepat karena marah adalah alami dan memukul adalah perkara lain yang menimbulkan perkara yang lebih besar.

Hasrat untuk mengejar semakin banyak pengalaman positif sesungguhnya adalah sebuah pengalaman negatif. Sebaliknya, secara paradoksal, penerimaan seseorang terhadap pengalaman negatif justru merupakan sebuah pengalaman positif (Mark Manson, 2018:10).

Perihal poin selalu benar, saya pikir ini memang nilai sampah terhakiki hahaha. Karena ketika merasa selalu benar atau memposisikan diri sebagai pihak yang selalu benar maka kita tidak belajar apa-apa dari sesuatupun. Percayalah, saya pun juga sudah mengalaminya. Kita pernah benar, tapi tidak selalu benar kan? Artinya sebagai manusia kita pun tidak luput dari salah. Belajar banyak dari hal ini tentu bagus. Jangan menjadi orang yang merasa selalu benar.

Contoh Kisah


Di dalam buku ini juga termuat contoh-contoh kisah dari orang-orang yang pasti kalian tahu seperti David Mustain yang didepak dari Metallica dan kemudian membentuk Megadeth. Atau tentang Pete Best yang didepak dari The Beattles lantas menemukan 'arti hidupnya' dari pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Atau kisah tentang Hiro Onoda, seorang Letnan Dua dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (1944). Semuanya terangkum dalam sub Nilai Penderitaan. Kalau saya menceritakan semuanya, tentu bakal diprotes sama Mark Manson. Yang jelas kita akan banyak belajar dari contoh kisah-kisah di dalam buku ini.

Yakin.

Si Panda Nyinyir


Saya tergelak membaca tentang Si Panda Nyinyir ini. 

Jika saya dapat menciptakan satu pahlawan super, saya akan menciptakan pahlawan yang disebut Panda Nyinyir. Dia akan memakai sebuah topeng mata murahan dan kaos (dengan huruf kapital T di atasnya) yang terlalu kecil untuk perut pandanya yang besar, dan kekuatan supernya adalah mengatakan kepada orang-orang, kebenaran yang menyakitkan dan tergolong pedas tentang diri mereka sendiri yang perlu mereka dengar namun tidak ingin mereka terima (Mark Manson, 2018:31).

Hahaha ... Dia akan membuat orang yang mendengarnya menjadi menderita.

Tapi alasan sederhana mengapa kita mengalami penderitaan adalah bahwa secara biologis penderitaan bermanfaat. Ini adalah agen alami yang diperlukan untuk perubahan yang menginspirasi (Mark Manson, 2018:32).

Kita sering mendengar; kebenaran itu menyakitkan. Tapi itu adalah hal yang harus didengar dan/atau dihadapi untuk kemudian diselesaikan. Si Panda Nyinyir ini bisa jadi sisi lain dari diri kita; mungkin dalam kehidupan bisa jadi dia adalah sahabat karib kita.

Lucu juga saat saya membayangkan si Panda Nyinyir ini. 

Apa Yang Harus Dilakukan Dengan "Bodo Amat"?


Bodo amat merupakan kalimat yang berkonotasi negatif. Bodo amat identik dengan masa bodoh. Menurut saya. Sehingga kalau membaca bodo amat, pastilah pikiran kita terbawa pada perilaku masa bodoh, acuh, dan sekelasnya. Tapi jika bodo amat dilakukan dengan seni, seperti yang ditulis Mark Manson, justru menjadi positif. Seni itu ada di mana? Ada di buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat.

Bodo amat putus cinta, ketimbang terus-terusan menerima perlakuan buruk dari dia.

Bodo amatlah terlambat datang di pertemuan, ketimbang tidak Shalat Jum'at.

Bodo amat ...

Bodo amat ...

Bodo amat ...


Pengalaman mental yang saya peroleh usai membaca buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat memberi peluang pada otak saya untuk berpikir lebih jauh. Contoh: baru-baru ini di Facebook ada sebuah akun yang mengatakan Lomba Mural itu tidak berfaedah karena hanya mencoret-coret dinding saja. Ketika saya membalasnya dengan penjelasan yang baik, akun tersebut malah membias pada hal-hal lainnya. Terakhir dalam hati saya bilang: bodo amat! Kalau dulu, akun semacam itu bakal saya ladeni sampai ke akar-akarnya!

Haha.

Baca Juga: Menghargai Perbedaan Dalam The Help

Bagaimana dengan kalian? Apakah sudah membaca buku ini? Kalau sudah, bagi tahu yuk di komentar pendapat kalian!



Cheers.

1 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. kalau pandai mengambil moment foto bisa menjadi karya kreatif ya teh

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak