Pulau Flores merupakan pulau yang berada dalam jalur Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik. Tidak heran, di Pulau Flores dan sekitarnya berdiri 13 gunung berapi. Bahkan Gunung Ia di dekat rumah saya pun berupakan gunung berapi (stratovolcano). Kondisi ini menjadikan Pulau Flores memiliki potensi energi panas bumi atau geothermal yang sangat besar. Pada tahun 2017, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi atau Flores Geothermal Island melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2268K/30/MEM/2017. Potensi panas bumi di Pulau Flores diperkirakan mencapai sekitar 902 MW yang tersebar di 16 titik lokasi. Sedangkan rata-rata Pronvisi NTT mencapai 1276 MWe.
Setidaknya sejak 2023 sudah ada beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Pulau Flores yaitu PLTP Ulumbu (10 MW) di Kabupaten Manggarai yang beroperasi sejak tahun 2012, PLTP Mataloko (2,5 MW) di Kabupaten Ngada, dan PLTP Sokoria (5 MW) di Kabupaten Ende. Sedangkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) ada pula di Poco Leok di Kabupaten Manggarai dan Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat. Meskipun potensi totalnya hampir 1.000 MW, pemanfaatan energi panas bumi di Flores masih jauh dari optimal. Hingga saat ini, total kapasitas PLTP yang beroperasi di Flores baru mencapai sekitar 18 MWe (data terbaru sekitar Mei 2025), yang artinya kurang dari 25% kebutuhan listrik di wilayah NTT. Lebih dari 75% kebutuhan listrik masih dipenuhi dari bahan bakar fosil.
Panas bumi atau energi geotermal mengantongi berbagai keunggulan. Yang pertama, energi terbarukan di mana sumbernya terus-menerus tersedia karena panas bumi dihasilkan secara alami oleh proses geologi di dalam bumi. Yang kedua, panas bumi juga dikatakan ramah lingkungan karena jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil maka emisi gas rumah kaca dari PLTP jauh lebih rendah atau bahkan nihil (tergantung teknologi yang digunakan). Yang ketiga, stabil dan konstan di mana tidak seperti tenaga surya atau angin yang bergantung pada cuaca. Yang keempat, tidak memerlukan lahan yang luas.
Meskipun demikian keunggulannya, tapi masyarakat menolak pembangunan dan pengembangan PLTP tersebut. Beberapa media telah mempublikasikan berita tentang hal ini:
Uskup Agung Ende Tolak Proyek PLTP di Wilayah KAE.
Penolakan Uskup Agung Ende yang juga mewakili penolakan masyarakat terhadap pembangunan PLTP di wilayah Keuskupan Agung Ende (KAE) berdasarkan berita-berita itu sangat beralasan dan kuat.
Saya tidak memandangnya dari biaya investasi yang tinggi tetapi dampak yang ditimbulkan oleh PLTP ini. Potensi dampak lingkungannya bisa terjadi penurunan permukaan tanah (subsidence), emisi gas (meskipun rendah), dan risiko memicu aktivitas seismik mikro (gempat bumi kecil) akibat injeksi fluida.
Mari kita urai dampak-dampak dari PLTP ini.
Dampak Lingkungan
- Emisi Gas Non-GRK: Meskipun rendah GRK, fluida geotermal bisa mengandung gas lain seperti hidrogen sulfida (H2S), amonia, metana, dan sulfur dioksida. H2S memiliki bau tidak sedap (seperti telur busuk) dan dalam konsentrasi tinggi dapat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
- Pencemaran Air: Air panas yang diekstraksi dari bawah tanah seringkali mengandung mineral terlarut (seperti sulfur, garam, arsenik, merkuri, boron, timbal, kadmium) dan logam berat lainnya. Jika tidak diinjeksikan kembali dengan benar, dapat mencemari sumber air permukaan atau air tanah.
- Penggunaan Air: Beberapa jenis PLTP, terutama yang menggunakan menara pendingin basah, memerlukan sejumlah besar air untuk pendinginan, yang bisa menjadi isu di daerah yang kekurangan air.
- Kerusakan Lahan dan Ekosistem: Pembangunan fasilitas PLTP, termasuk pengeboran sumur, pembangunan jalan akses, dan infrastruktur, memerlukan pembukaan lahan yang dapat menyebabkan deforestasi, gangguan habitat satwa liar, dan perubahan bentang alam.
- Subsidence (Penurunan Permukaan Tanah): Ekstraksi fluida panas bumi yang tidak diimbangi dengan injeksi kembali yang memadai dapat menyebabkan penurunan atau amblesan permukaan tanah di area sekitar sumur.
- Perubahan Iklim Mikro: Pelepasan uap panas dapat menyebabkan perubahan pola curah hujan lokal atau kelembaban udara.
Dampak Sosial:
- Penggusuran dan Konflik Lahan: Proyek PLTP seringkali membutuhkan lahan yang luas, yang dapat mengakibatkan penggusuran masyarakat lokal, terutama masyarakat adat yang memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhurnya. Ini bisa memicu konflik dan hilangnya mata pencarian.
- Kesehatan Masyarakat: Paparan gas beracun (seperti H2S) dapat menyebabkan masalah pernapasan, iritasi mata, dan gangguan kesehatan lainnya bagi warga yang tinggal dekat lokasi.
- Kebisingan: Aktivitas pengeboran dan operasional PLTP dapat menghasilkan tingkat kebisingan yang tinggi, mengganggu kenyamanan dan ketenangan hidup masyarakat sekitar.
- Perubahan Sosial dan Budaya: Masuknya proyek besar dapat mengubah tatanan sosial, tradisi, dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal, terutama jika tidak ada konsultasi dan partisipasi yang memadai.
- Kurangnya Transparansi dan Partisipasi: Seringkali terjadi keluhan masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau informasi yang diberikan tidak transparan, yang memicu penolakan.
Dampak Geologi:
- Aktivitas Seismik Induksi: Pengeboran dan terutama injeksi fluida kembali ke dalam bumi dapat memicu gempa bumi mikro (gempa bumi kecil) karena perubahan tekanan dan tegangan pada sesar atau rekahan batuan. Meskipun seringkali tidak merusak, gempa-gempa kecil ini bisa menimbulkan kekhawatiran dan gangguan bagi masyarakat.
- Kegagalan Sumur: Ada risiko bahwa sumur yang dibor tidak menghasilkan fluida yang cukup atau kualitasnya tidak sesuai.
- Semburan Lumpur Panas: Meskipun jarang, kegagalan dalam pengeboran bisa menyebabkan semburan lumpur panas atau gas yang tidak terkendali.
Melihat dampak yang sudah diuraikan itu maka saya percaya penolakan PLTP ini memang harus menjadi fokus utama sehingga dapat ditemukan solusi yang menguntungkan baik pihak pemerintah maupun pihak masyarakat.
Pembangunan dan pengembangan PLTP yang bertanggung jawab memerlukan studi kelayakan yang komprehensif, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat, dan yang terpenting, partisipasi aktif dan persetujuan dari masyarakat lokal untuk memitigasi dampak negatif dan memastikan manfaatnya dirasakan secara adil. Karena suara masyarakat harus didengar! Karena negara ini bukan hanya milik pemerintah tapi juga milik masyarakat di mana untuk keberlanjutan negara pun masyarakat wajib membayar pajak.
Bukan demikian?
Semoga bermanfaat.
Cheers.