Yuk Pahami WhistleBlower dan Justice Collaborator

 


Sebuah film berjudul The Untouchables sejenak bisa memberikan arti ganda. Pertama, nama besar penjahat di dalam film tersebut tidak bisa disentuh saking berkuasanya. Kedua, penegak hukum di dalam film itu tidak bisa disentuh (disuap). Ternyata, film itu justru lebih mengarah pada penegak hukum yang bekerja jujur demi menjatuhkan si penjahat kelas kakap. The Untouchables diangkat dari kisah nyata kerja keras aparat penegak hukum menyeret Al "The Godfather" Capone ke penjara. Tidak disangka, dari kasus Al Capone ini lah istilah justice collaborator bermula.

Cekidot 5 Ranah Hukum di Indonesia yang Wajib Kalian Tahu.

Siapakah justice collaborator itu?

Bernama Edward Joseph O'Hare. Dia juga karib disapa Easy Eddie. O'Hare bertemu Al Capone di Chicago, setelah bercerai dari isterinya (Selma) pada tahun 1927 (perjalanan cinta selanjutnya tidak saya cantumkan di artikel ini). Lantas, O'Hare dan Al Capone mulai bekerja sama dalan dunia bisnis dan hukum. Bisnisnya tentu sebagian besar merupakan bisnis gelap Al Capone, si gembong mafia. Siapa sangka, pada tahun 1930 O'Hare bermanuver keras melawan Al Capone. Dia memainkan peran penting dalam penuntutan dan hukuman Al Capone. Dia menjadi seorang justice collaborator tidak hanya untuk menyelamatkan dirinya tapi juga anaknya yang bernama Edward (Butch). 

Meskipun benar-benar mencuat melalui sosok Richard Eliezer Pudihang Lumiu, istilah justice collaborator bukan istilah baru di Indonesia. Dari berbagai sumber, diketahui beberapa nama yang pernah ditetapkan sebagai justice collaborator. Damayanti dan Abdul Khoir pada perkara suap proyek pembangunan jalan di Maluku. Sebagian besar tersangka pada suap hakim PTUN Medan menyandang status justice collaborator, kecuali OC Kaligis. Pun, Nazaruddin dalam perkara proyek Hambalang.

Di Indonesia, rujukan justice collaborator diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 (perubahan atas undang-undang sebelumnya) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga tentu saja Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Apa itu whistleblower dan justice collaborator?

Butir 6 SEMA Nomor 4 Tahun 2011:

Perlindungan terhadap Pepalor Tindak Pidana (WhistleBlower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) memang telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut:

(1) Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikannya.

(2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.

Butir 7 SEMA Nomor 4 Tahun 2011:

Dengan merujuk pada nilai-nilai di dalam ketentuan tersebut di atas dengan ini Mahkamah Agung meminta kepada Para Hakim agar jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.

Mengenai ketentuan seseorang dapat dikategorikan sebagai whistleblower tertuang dalam Butir 8 SEMA Nomor 4 Tahun 2011 yaitu Huruf a. yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Dan Huruf b. apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

Dan ketentuan justice collaborator diatur dalam Butir 9 SEMA Nomor 4 Tahun 2011 yaitu Huruf a. yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Huruf b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. 

Mengenai keringan yang didapatkan oleh justice collaborator termuat dalam Butir 9 SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Huruf c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut: i. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau, ii. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud. Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Huruf d. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memberhatikan hal-hal sebagai berkut: i. Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan, dan ii. Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Bisa dilihat SEMA Nomor 4 Tahun 2011 memuat lebih detail tentang penanganan whistleblower dan justice collaborator.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dapat dibebaskan dari hukuman? Menurut saya, jika melihat dari SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tersebut, bebas 100% tidak mungkin dapat diberikan oleh Hakim kepadanya. Setidaknya, hakim dapat menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya. Dengan perumpamaan lain, jika Ferdy Sambo cs. dijatuhi hukuman 20 tahun pidana penjara, maka hukuman Bharada E harus jauh lebih ringan. Kenapa ada kata 'harus'? Karena dialah justice collaborator itu. Dialah orang yang telah cukup memberi terang tentang perkara penembakan Brigadir J ini. Dan, itu memang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Bagaimana dengan hukuman mati? Saya termasuk orang yang tidak menyetujui hukuman mati. Karena yang pertama: biarkan Tuhan yang mengambil kembali nyawa yang telah diberikanNya pada manusia. Kedua, hukuman mati cenderung tidak memberikan efek jera pada pelaku, meskipun mungkin dapat memberikan rasa efek jera para orang lain agar tidak melakukan tindak pidana tersebut. Meskipun banyak teman yang bilang bahwa kalau dipenjara, si pelaku tindak pidana (yang berkuasa dan punya banyak harta) dapat menjadikan penjara sebagai hotel mewah milik pribadi, tapi tetap saja saya tidak setuju dengan hukuman mati.

Yuk dibaca: Visum Et Repertum dan Lie Detector.

Semoga artikel ini dapat mencerahkan kita semua tidak saja tentang whistleblower dan justice collaborator, tapi juga tentang istilah the untouchables itu. Pada tahun itu (1930-an), telah ada banyak penegak hukum yang bekerja jujur dan tidak tersentuh uang kotor. Pada masa sekarang, banyak oknum penegak hukum maupun petinggi lainnya yang sangat mudah tersentuh uang kotor (dari berita-berita yang beredar). Apakah karena moral orang zaman dulu lebih tinggi/beriman kuat dibandingkan orang-orang zaman sekarang? Ataukah karena gaji orang zaman dulu lebih besar dari orang zaman sekarang? Entahlah.

Yang penting, 2023 ini kita harus bisa menikmati hidup melalui Work Hard, Play Hard (too)! 😂


Cheers. 

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak