Ilmiah Melawan Ilmiah: Jalan Rasional Menuju Kebenaran


Di era informasi yang serba cepat dan tidak jarang menyesatkan, klaim dan tuduhan terhadap suatu pihak mudah tersebar sebelum sempat diverifikasi. Sayangnya, tidak semua kritik dilandasi dengan pendekatan ilmiah yang memadai. Dalam kondisi demikian, pendekatan yang rasional dan ilmiah menjadi penting untuk membedakan antara tuduhan tanpa dasar dan kebenaran yang dapat diuji. Prinsip "ilmiah melawan ilmiah" mengajarkan bahwa hanya dengan logika, data, dan metode yang sistematislah suatu klaim dapat dibenarkan atau dibantah.

Sebenarnya itulah yang saya harapkan dari polemik mengenai keaslian ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) yang kembali mencuat dan menjadi sorotan publik serta media nasional. Isu ini telah berlangsung sejak 2022 dan terus berlanjut hingga 2025, meskipun telah dibantah oleh berbagai pihak resmi. Kontroversi bermula dari tuduhan bahwa ijazah Sarjana Kehutanan Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) palsu. Tuduhan ini diperkuat oleh klaim perbedaan font dan tanda tangan pada ijazah, serta pernyataan dari beberapa pihak yang meragukan keasliannya. Namun, UGM telah menegaskan bahwa seluruh dokumen akademik milik Jokowi, termasuk skripsi dan nilai, terdokumentasi dengan baik dan asli.

Ilmu pengetahuan dibangun atas dasar verifikasi, falsifikasi, dan keterbukaan terhadap pengujian ulang. Sebagaimana dikemukakan oleh Karl Popper, teori yang ilmiah adalah teori yang dapat diuji dan berpotensi untuk dibuktikan salah. Oleh karena itu, ketika suatu pernyataan diklaim sebagai kebenaran—baik itu tentang kesehatan, politik, hingga identitas akademik seseorang—maka ia harus terbuka terhadap pengujian ilmiah. Penting ditekankan bahwa pengujian tersebut pun harus menggunakan perangkat yang sah: data valid, metodologi terukur, dan argumentasi logis.

Itu pula yang saya harapkan dari pihak Bapak Jokowi maupun pihak kepolisian sebagai tempat beliau mengadu (delik aduan). Ketika Bapak Rismon Hasiholan Sianipar membeberkan sejumlah bukti ilmiah (data digital forensik) berdasarkan kajian ilmiah yang menggunakan berbagai tools (yang mendukung) kajian ilmiah secara terbuka, maka pihak Bapak Jokowi pun dapat membantah dengan sejumlah bukti ilmiah berdasarkan kajian ilmiah, dan secara terbuka pula. Agar masyarakat Indonesia puas terhadap penyelesaian polemik/perdebatan ijazah, bahkan merembet pada skripsi, ini.  

Sayangnya, di ruang publik, tidak jarang pendekatan ini digantikan oleh narasi penuh kecurigaan tanpa pembuktian. Hoaks dan teori konspirasi sering menyusup ke dalam diskusi rasional. Misalnya, dalam polemik seputar keaslian ijazah tokoh publik, perdebatan seringkali dibangun atas dasar potongan gambar, perbedaan tipografi, atau testimoni tidak sahih—bukan dari audit akademik atau verifikasi dokumen resmi. Ketika institusi yang berwenang seperti universitas atau lembaga negara telah memberikan klarifikasi berbasis data, respons yang tidak ilmiah justru terus disebarluaskan. Inilah bentuk kealpaan dalam membedakan antara sikap kritis dan kecurigaan membabi buta.

Ilmiah melawan ilmiah berarti menggunakan pendekatan yang seimbang dan berbasis bukti ketika ingin mengkritik atau menggugat suatu kebenaran. Kritik dalam ranah akademik misalnya, dilakukan dengan meneliti ulang data, mereplikasi penelitian, atau menyusun argumen tandingan berdasarkan landasan teori yang kuat. Tanpa itu, kritik kehilangan esensinya sebagai proses ilmiah, dan berubah menjadi propaganda atau serangan personal.

Di sisi lain, pendekatan ilmiah juga menuntut keterbukaan dari objek kritik. Jika seseorang atau institusi menyatakan diri berada di pihak yang benar, maka transparansi menjadi keharusan. Menyediakan akses terhadap dokumen, data, atau hasil penelitian adalah bentuk akuntabilitas ilmiah. Keterbukaan terhadap pengujian menjadi bagian dari komitmen untuk menjaga integritas.

Pendidikan masyarakat akan pentingnya berpikir ilmiah menjadi sangat krusial. Literasi sains bukan hanya soal memahami istilah teknis atau metode eksperimen, tapi juga menyangkut kemampuan untuk menilai validitas suatu klaim, membedakan opini dari fakta, dan memahami proses verifikasi ilmiah. Tanpa fondasi ini, masyarakat akan mudah terseret dalam gelombang informasi keliru yang dibungkus dengan kemasan logis semu.

Lebih jauh lagi, etika ilmiah menuntut bahwa dalam berargumen pun kita menjaga integritas. Berbeda pendapat adalah hal wajar dalam proses ilmiah, tetapi itu harus dilakukan dengan cara yang menghormati prinsip objektivitas, bukan merusak reputasi lawan secara pribadi tanpa dasar.

Prinsip "ilmiah melawan ilmiah" adalah fondasi dari peradaban yang rasional dan beradab. Ia mengajarkan kita bahwa kebenaran tidak bisa diklaim semata, tetapi harus diuji dan dipertanggungjawabkan. Dalam dunia yang semakin bising oleh informasi keliru, kita butuh lebih banyak suara yang berbicara lewat data, bukti, dan logika—bukan hanya opini yang dibungkus keyakinan. Dan pada akhirnya, hanya dengan sikap ilmiah-lah, kita bisa terus mendekat pada kebenaran yang sejati.


Cheers.


Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak