Di tengah riuhnya pembangunan dan janji-janji memajukan bangsa, saya sering merenung tentang satu hal: apakah negara ini benar-benar serius dengan pendidikan? Bukan hanya soal anggaran yang digelontorkan atau gedung-gedung sekolah yang didirikan, tapi secara fundamental, apakah ada keinginan tulus untuk menciptakan rakyat yang benar-benar cerdas, kritis, dan berdaya? Lebih dari itu: apakah ada keinginan untuk menerima keberadaan rakyat atau orang-orang cerdas ini? Kita tahu bahwa banyak orang cerdas Indonesia yang cenderung tidak mendapat panggung di kancah politik. Kalau pun cerdas otaknya, ada saja yang moralnya jongkok, sehingga terbukti dengan begitu banyaknya kasus korupsi di Indonesia.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara telah menunjukkan keberaniannya dalam mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Melalui tulisan-tulisannya yang tajam, terutama artikel "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), dia mengecam kesewenang-wenangan Belanda dan membela hak-hak rakyat Indonesia. Akibatnya, Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Belanda. Namun, pengasingan itu tidak memadamkan semangatnya. Sepulangnya ke Indonesia, ia terus berjuang melalui pendidikan.
Bahkan Bung Hatta pun menjadi kritikus Soekarno yang paling vokal. Dua proklamator kemerdekaan ini, Soekarno dan Hatta, pernah menjadi simbol persatuan dan kekuatan bangsa. Namun, setelah kemerdekaan, keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang arah negara. Hatta, dengan ketegasannya, menjadi salah satu kritikus Soekarno yang paling vokal. Perbedaan pandangan ini, sayangnya, merenggangkan hubungan keduanya.
Ketika kita membicarakan orang cerdas Indonesia yang seakan dimusuhi, atau kritikus tentang dimusuhi negara karena kecerdasannya, nama Munir Said Thalib akan selalu muncul di benak kita. Bukan hanya karena dia seorang yang cerdas, berani, dan berintegritas, tapi karena kisah hidupnya berakhir dengan tragedi yang menyisakan luka mendalam dan pertanyaan besar tentang keadilan di negeri ini. Munir bukan sekadar seorang aktivis biasa. Dia adalah seorang pejuang hak asasi manusia yang gigih, seorang pembela kaum tertindas, dan seorang kritikus yang tajam terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, khususnya terkait militer dan intelijen. Dia mendirikan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan menjadi suara lantang bagi mereka yang dihilangkan secara paksa atau menjadi korban kekerasan negara di masa Orde Baru, seperti kasus penculikan aktivis 1998, kekerasan di Aceh, hingga Timor Timur.
Bagi sebagian pihak yang berkuasa terutama okhum penghancur bangsa, rakyat yang cerdas adalah ancaman. Rakyat yang pintar, yang terliterasi dengan baik, yang mampu berpikir kritis, tidak akan mudah dibodohi. Mereka tidak akan menelan mentah-mentah setiap narasi yang disajikan, tidak akan mudah terprovokasi oleh isu-isu murahan, dan yang paling penting, mereka akan berani mempertanyakan kejanggalan, menuntut kebenaran, dan meminta pertanggungjawaban.
Pikirkan sejenak tentang kasus seperti yang dialami Rismon Sianipar. Rismon, dengan keahlian dan kapasitas intelektualnya, berani membeberkan fakta dan data yang mungkin tidak sejalan dengan narasi resmi atau kepentingan pihak tertentu. Ini bukan hanya tentang satu individu, ini adalah simbol dari ketakutan mendalam terhadap orang-orang yang berani berbicara berdasarkan data dan bukti.
Mengapa seorang individu yang berbekal data dan analisis bisa dianggap sangat berbahaya? Karena di era informasi ini, data adalah kekuatan. Data bisa membongkar kebohongan, mengungkap kelemahan sistem, dan menunjuk pada praktik-praktik yang tidak benar. Ketika ada figur seperti Rismon Sianipar yang berani tampil ke depan dengan fakta yang tak terbantahkan, itu mengguncang fondasi kemapanan dan mengganggu narasi yang telah dibangun dengan susah payah. Jika negara benar-benar ingin maju dan bersih, seharusnya individu-individu seperti Rismon Sianipar dirangkul, diberi ruang, dan keahliannya dimanfaatkan untuk perbaikan. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya: mereka diisolasi, dicurigai. Ini adalah indikasi kuat bahwa ada ketakutan pada transparansi dan kebenaran.
Pendidikan yang seharusnya menjadi pilar pencerahan justru terasa seperti alat untuk menciptakan rakyat yang patuh dan mudah diatur, bukan rakyat yang kritis dan inovatif. Kurikulum yang terlalu berorientasi pada hafalan, minimnya ruang untuk diskusi kritis, serta tekanan untuk mengikuti arus tanpa mempertanyakan, semuanya berkontribusi pada fenomena ini. Bayangkan jika setiap anak Indonesia sejak dini diajarkan untuk berpikir logis, menganalisis informasi, dan berani menyuarakan pendapat berdasarkan data. Bayangkan jika universitas-universitas menjadi sarang pemikir-pemikir bebas yang tidak takut meneliti dan mempublikasikan hasil temuan, meskipun itu menyinggung pihak tertentu. Tentu, itu adalah skenario yang ideal, namun jauh dari kenyataan yang ada.
Ini bukan berarti bahwa semua elemen negara memiliki niat buruk. Tentu ada banyak individu di pemerintahan yang tulus ingin memajukan pendidikan. Namun, secara sistemik, ada mekanisme yang seolah menghambat pertumbuhan intelektual masyarakat secara keseluruhan baik dalam proses pendidikan itu sendiri maupun hasil dari pendidikan.
Sudah saatnya disadari bahwa kecerdasan rakyat bukanlah ancaman, melainkan aset terbesar bangsa. Justru, rakyat yang bodoh dan mudah dimanipulasi adalah ancaman nyata bagi demokrasi, keadilan, dan kemajuan. Bayangkan jika okhum penghancur bangsa yang ha he ho tralala trilili itu kemudian masuk ke dalam pemerintahan ... yang ... bagaimana dia bisa melawan rakyatnya yang cerdas? Jangan-jangan rakyat yang cerdas ini betul-betul menjadi ancaman bagi oknum penghancur bangsa.
By the way, sudah pernah membaca kisah Abu Nawas yang cerdas? 😁
Cheers.