Apa itu keadilan restoratif?
Saya yakin kalian pernah mendengar istilah Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif. Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang mulai diterapkan secara masif di Indonesia. Berbeda dengan model peradilan konvensional (retributif) yang fokus pada penghukuman pelaku dan pembalasan atas kejahatan, keadilan restoratif lebih menekankan pada pemulihan kerugian yang dialami korban, perbaikan hubungan antara korban dan pelaku, serta reintegrasi pelaku ke masyarakat.
Dengan kata lain, ketimbang suatu delik aduan pada perkara pidana ringan diteruskan hingga tingkat persidangan, maka lebih baik diselesaikan di tingkat penyelidikan atau penyidikan. Tapi perlu diingat, bahwa keadilan restoratif juga berlaku di tingkat penuntutan dan tingkat persidangan di pengadilan. Tujuannya tetap sama, agar terjadinya pemulihan situasi dan/atau istilah saya: kembali ke setelan pabrik.
Payung hukumnya?
Payung hukum keadilan restoratif termuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Payung hukum paling awal adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Payung hukum fundamental keadilan restoratif ini mewajibkan penerapan keadilan restoratif, khususnya melalui mekanisme diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana), untuk anak yang berkonflik dengan hukum.
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini mengatur secara detail bagaimana keadilan restoratif diterapkan pada tahap penyidikan di kepolisian. Ini mencakup syarat-syarat formil dan materiil agar suatu perkara bisa diselesaikan dengan pendekatan restoratif, termasuk jenis tindak pidana yang memenuhi syarat (misalnya, bukan tindak pidana terorisme, korupsi, atau kejahatan terhadap nyawa), adanya perdamaian antara para pihak, dan pemulihan hak-hak korban.
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan ini memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menghentikan penuntutan suatu perkara pada tahap penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif. Syarat-syaratnya antara lain pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun, kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000, dan adanya perdamaian.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ini adalah regulasi terbaru yang sangat penting karena memperluas penerapan keadilan restoratif hingga ke tahap persidangan. PERMA ini memberikan pedoman bagi hakim dalam mempertimbangkan dan menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam putusan mereka, bahkan jika proses mediasi restoratif dilakukan di tengah persidangan. Hal ini menunjukkan komitmen Mahkamah Agung untuk mengintegrasikan pendekatan ini di seluruh sistem peradilan pidana, bukan hanya di tingkat penyidikan dan penuntutan.
Selain peraturan-peraturan di atas, ada juga berbagai surat edaran dan pedoman internal dari masing-masing institusi penegak hukum yang mendukung implementasi keadilan restoratif.
Wale Sebagai Keadilan Restoratif di Tingkat Masyarakat
Jika dilihat dari perspektif kehidupan masyarakat sehari-hari, keadilan restoratif ini sudah dilakukan sejak lama. Saya melihat dari bagaimana ganti kerugian dilakukan oleh pihak pelaku terhadap korban dan keluarganya untuk menutup malu atau menutup kerugian. Di Kabupaten Ende, dikenal suatu istilah yaitu wale atau denda adat. Denda adat ini, selain permintaan maaf tentunya, dapat berupa sejumlah uang, atau barang, atau hewan, yang diminta oleh korban dan keluarganya yang merasa malu atau dirugikan.
Contohnya, jika anak perempuan kita dicolek oleh anak laki-laki di muka umum (dengan menyentuh atau meramas area tubuh tertentu), secara hukum si anak laki-laki bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jika tindakan mencolok itu dianggap melanggar kesusilaan atau tidak pantas di tempat umum, maka pelaku dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 406 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 281 KUHP lama. Pasal 406 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta bagi yang melanggar kesusilaan di muka umum.
Pada beberapa kasus, di mana anak perempuan dicolek oleh anak laki-laki sebagaimana yang saya jelaskan di atas, maka pihak keluarga pasti akan bertemu. Tentu keluarga si pelaku yang harus aktif mendatangi keluarga korban sebelum keluarga korban melaporkannya ke kepolisian. Perbincangan dapat berfokus ke lini adat. Dan pada beberapa kasus yang saya temui, pihak keluarga laki-laki akan melakukan wale. Sehingga, perempuan tertutup malunya, laki-laki bertobat melakukan kejadian serupa, dan kondisi pulih seperti biasa. Yah ... di luar dari kemungkinan si perempuan akan menghindari laki-laki tersebut akibat trauma.
Saat SMA saya mengalami kecelaan sepeda motor di mana sepeda motor saya menabrak sebuah angkot. Kejadian begitu cepat sehingga saya sendiri tidak dapat mengingat alasan terjadinya tabrakan itu. Tapi saya yakin, sayalah yang menabrak angkot tersebut. Supir dan keluarganya mendatangi rumah kami untuk meminta maaf dan berunding apakah akan diteruskan ke jalur hukum atau tidak. Maka keluarga saya memilih untuk tidak perlu diteruskan ke jalur hukum karena tidak terjadi hal yang parah meskipun saya memang harus masuk UGD karena terjadi dislokasi bahu. Pihak keluarga supir angkot tersebut sangat perhatian karena meskipun keluarga saya tidak menuntut apa pun mereka tetap membawakan saya air doa (tolong jangan diketawain ya, ini memang terjadi), ayam kampung, telur-telur ayam kampung. Katanya untuk membantu pemulihan dislokasi bahu.
Yah begitulah kami yang tinggal di daerah. Salah atau benar, untuk kejadian yang masih bisa diseelsaikan dengan mufakat, maka pihak pelaku dan korban akan sama-sama berjuang untuk memulihkan keadaan.
💥
Saya pribadi memandang keadilan restoratif sebagai suatu pendekatan hukum yang baik bagi masyarakat. Bahkan pelaku bisa juga diberikan sanksi ringan seperti membantu membersihkan wilayah tertentu untuk kurun waktu tertentu selain mengganti kerugian kepada korban sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam surat resmi. Jadi, efek jeranya tetap ada tapi tidak sampai si pelaku dijebloskan ke penjara.
Secara keseluruhan, keadilan restoratif diatur di dalam berbagai regulasi yang dirancang untuk mendukung pelaksanaannya dari hulu ke hilir dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dengan tujuan mencapai keadilan yang lebih substantif dan berorientasi pada pemulihan.
Cheers.