Tiktok Shop Versus Pasar Konvensional


Siapa pun pasti tahu prinsip ekonomi. Sederhananya, prinsip ekonomi adalah berusaha dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya atau keuntungan maksimal. Contohnya, jika 1 buah pisang goreng dijual seribu Rupiah ternyata tidak menguntungkan, maka strategi harus diubah yaitu 4 buah pisang goreng dijual seharga 5ribu Rupiah, tanpa mengurangi kualitas pisang goreng tersebut. Dengan demikian, mau tidak mau konsumen receh harus mengikuti strategi paketan dari si penjual pisang goreng favoritnya. Minimal pembelian tidak bisa per sebuah lagi, tetapi per 4 buah.

Dari sisi konsumen, prinsip ekonomi ini juga berlaku di mana konsumen berusaha mengeluarkan uang sekecil-kecilnya untuk mendapat barang sebanyak-banyaknya, kalau bisa sih barang dengan kualitas sebagus-bagusnya. Sebagian konsumen memilih: biar mahal asal dari sisi pemakaian bisa memberikan rasa puas. Sebagian kosumen lagi memilih: semakin murah semakin bagus meskipun barang yang dibeli murah tersebut lekas rusak.

Pada masa Facebook berjaya, banyak pedagang memanfaatkan media sosial tersebut untuk mempromosikan barang dagangannya. Di Kota Ende, banyak pengusaha jasa boga atau catering belajar foto produk makanan agar bisa mempromosikannya di Facebook. Hal ini juga berlaku bagi para make up artist, jasa mobil travel, hingga pemilik salon. Teman-teman saya yang menetap di Jakarta atau Bandung, memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan barang dagangan berupa pakaian, tas, dan sepatu. Tidak hanya Facebook, mereka juga memanfaatkan Instagram. Sehingga sebenarnya istilah social-commerce sudah ada sejak dulu, hanya saja antara barang dan harganya masih bersaing ramah dengan toko/pasar konvensional.

Semakin ke sini, konsumen semakin dimanjakan dengan bermunculan e-commerce atau market place seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, Blibli, Zalora, hingga yang jarang saya lihat/dengar seperti Bhinneka, Sociolla, Mapemall, hingga Elevania. Tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi pergi ke pasar konvensional dan bisa dilakukan sambil rebahan, konsumen ditawari ratusan (mungkin ribuan) pilihan barang, dengan harga yang murah, dan bahkan bebas ongkos kirim. Transaksi jual-beli dilakukan secara daring.

Pandemi Covid-19 semakin mendongkrak eksistensi e-commerce. Dengan demikian, terdongkrak pula keuntungan dari layanan antar barang seperti salah satunya GoJek. Selain itu muncul pula berbagai usaha rumahan jasa titipan (jastip). Bagi kami-kami yang jauh dari Pulau Jawa, membeli barang di e-commerce bisa lebih murah ongkos kirimnya dengan memanfaatkan jastip. Alamat pengiriman bisa menggunakan alamat jastip di kota-kota besar di Pulau Jawa (paling banyak Surabaya), ongkos ke Kota Ende jatuhnya bisa jauh lebih murah.

E-commerce tidak menjadi masalah karena para pemilik toko di pasar konvensional juga menggunakan lapak di e-commerce. Ini juga berlaku bagi yang tidak punya toko konvensional di pasar konvensional. Dari rumah pun mereka bisa berjualan di e-commerce. Istilahnya, luring jalan, daring pun jalan. Solusi terkini menjawab tantangan zaman.

Seperti yang sudah saya tulis di atas, social commerce sudah ada sejak dulu, sejak orang-orang memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan dagangannya (Facebook, Instagram, aplikasi mengobrol, atau blog). Tapi hari-hari ini, kabar sepinya pasar grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara membikin kaget. Apa lagi beberapa pedagang Pasar Tanah Abang 'menjerit' tentang Tiktok Shop yang dikatakan sebagai sumber kerugian mereka. Berdasarkan berbagai informasi yang ada, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa harga yang ditawarkan Tiktok Shop membikin persaingan menjadi sangat tidak ramah dengan toko/pasar konvensional. Misalnya kaos di Tanah Abang sebuahnya 25ribu, di Tiktok Shop 10 buah kaos diharga 100ribu.

😟

Terkejut? Ya jelas. Pasar Tanah Abang menjadi sangat sepi. Beberapa pedagang mengaku, juga memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan dagangannya, tapi tetap saja ... sepi. Baik luring maupun daring.

Apakah Tiktok Shop akan ditutup/dilarang oleh pemerintah Indonesia? Bisakah?

Tiktok membuka fenomena baru di Indonesia. Melalui Tiktok Shop, influencer maupun affiliator mampu meraup keuntungan yang sangat besar dengan harga barang dagangan yang sangat murah. Belum lagi artis turut serta di situ. Siapa sih yang tidak mau membeli barang yang dijual sama artis idolanya? Ini membingungkan. Di sisi lain pedagang Pasar Tanah Abang dirugikan, di sisi lain banyak orang Indonesia diuntungkan (affiliator).

Menjadi tugas pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Perlu regulasi-regulasi khusus agar menciptakan win-win solution. Karena kita punya istilah: lindungi produk dalam negeri. Tentu dalam hal ini berkaitan erat pula UMKM.

Menurut Deryansha Azhary (eks bassist Vierratale) di marketing itu, kuncinya ada di 3 sampai 10 detik pertama. Singkatnya, pakai rumus marketing: problem 👉 solution. Bagi pedagang Tanah Abang yang begitu on di Tiktok Shop, misalnya, jangan cuma tawarkan, "Ayo kak, barangnya bagus ..." Tetapi gunakan rumus marketing tadi. Saya setuju dengan solusi Dery di tayangan TvOne itu. Karena zaman memang menggila. Kita pun harus 'gila' 😂 Kalau lagi lihat Reels, saya juga lihat pedagang laki-laki promosiin tas perempuan dengan gaya yang aduhai memikat. Itu yang bikin calon konsumen bertahan menonton dan tertarik membeli.

Kalau kalian bertanya pada saya, saat ini suka membeli barang di mana? Jelas, di toko daring yang ada di e-commerce. Pertama: tidak perlu keluar rumah. Kedua: pilih barang sesuka hati tanpa lelah berdiri alias bisa sambil rebahan atau sambil makan malam. Ketiga: tidak perlu malu jika menawar harga tidak disetujui pedagang. Keempat: pengiriman cepat dengan ongkir murah melalui jastip. Tapi bukan berarti saya tidak ke toko/pasar konvensional. Bakcang misalnya, makanan itu di Kota Ende cuma dijual luring di Pasar Mbongawani dengan stok terbatas (biasanya untuk pagi hari saja, siang sudah ludes).

Kesimpulan saya:

Tidak apa-apa Tiktok Shop tetap ada. Tapi pemerintah Indonesia bisa menyiapkan regulasi yang baik untuk semua pihak. Sekaligus harus ada peningkatan kapasitas SDM agar bisa bersaing di era digital ini.

Bagaimana menurut kalian?


Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak