Triplet ~ Part 24







 
 
Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.


***


PART 24









~ Ende ~
17 Agustus 2015
LEDAKAN


Angka 7 mempunyai tingkat keistimewaan tertinggi. Untuk menciptakan semesta Tuhan memilih angka 7. Al-Baqarah: 29 berbunyi, “Dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikannya tujuh langit.” Atom yang dianggap sebagai dasar pembentuk alam tersusun atas 7 tingkatan elektron dan tidak mungkin lebih dari itu. 7 hari dalam seminggu. 7 warna pelangi. Dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain.
Meskipun angka 7 mempunyai tingkat keistimewaan tertinggi namun angka 17 pun tak kalah istimewanya. Selain gerbang kedewasaan manusia ditandai dengan angka 17, angka tersebut pun merupakan angka keramat Republik Indonesia. Kemerdekaan dari negara yang menerima ekspansi Portugis dan dijajah Belanda dan Jepang ini jatuh pada tanggal 17. Dan, konon, taman wisata di Riung yang jumlah pulaunya lebih dari 30 diubah menjadi Taman Wisata 17 Pulau Riung.
Pukul 07.45. Lapangan Pancasila telah dipadati masyarakat Kota Ende, dan sekitarnya, yang ingin menyaksikan Upacara Bendera 17 Agustus 2015. Para orangtua, juga sanak keluarga, tentu tidak mau melewatkan momen penting anak mereka beraksi di Lapangan Pancasila sebagai anggota Paskibra. Anak-anak berseragam sekolah buru-buru pergi ke Lapangan Pancasila untuk menyaksikan teman-temannya beraksi: Paskibra, anggota koor, marching band, peserta lomba devile, atau panjat pinang. Penjaja makanan dadakan mencari spot paling strategis agar dagangannya mudah tertangkap pemilik mata-mata yang lapar, haus, dan lelah. 17-an semacam ajang bazar nasional. Semua pedagang mendadak jenius.
Mira turut berdesakkan bersama sekelompok ibu-ibu yang ribut bercerita tentang ini-itu. Topiknya masih juga batu akik. Dalam hati Mira mencemooh topik itu karena hari ini dia ditawari perjanjian damai oleh Baba dan kedua saudari kembarnya.
Dasar bodoh! Akhirnya warisan Baba jatuh pada saya!
Hari ini Wawan mengikuti lomba devile, mewakili instansinya. Mira akan menunggu sampai perlombaan selesai lantas mengajak Wawan pergi ke Shadiba’s Corner. Akhirnya untuk pertama kali setelah pulang ke Ende dia akan menginjak tempat usaha adiknya itu. Adik yang lahir paling buntut dari mereka bertiga, dan paling lama.
Berapa penghasilan perahu motor dalam sehari? Aaah ... hadiah ini ... kalau Mas Wawan tidak bisa belikan perabot rumah tangga, penghasilan tigabelas perahu motor lebih dari cukup untuk beli rumah!
Di tengah keramaian pikiran Mira meloncat pada hari-hari ketika mereka masih kecil. Diba, si Pecinta Bantal, selalu mencari cara untuk mematahkan ramalan Kakek Ucup. Atha, si Pecinta Hujan, selalu bersikap aneh—cenderung sinting. Dirinya, si Pecinta Senja, adalah pabrik puisi dan cerita romantis.
Dia tahu ada ‘sesuatu’ antara Elf dan Diba. Tidak terucap. Tidak terungkap. Namun perhatian Elf pada Diba nyata mempertontonkan betapa laki-laki itu sangat mencintai Diba. Cinta ... memang tidak selamanya harus diwakilkan dengan kata-kata.
Sayangnya ... Bang Elf harus jadi korban.
Ah ... masa lalu! Masa bodoh! Saya tidak pernah meminta dia menikahi saya!
Lantas wajah Firdaus membayang. Mira tersenyum sinis. Laki-laki itu telah merobek selaput dara-nya, lalu pergi begitu saja.
Suara perempuan dari pengeras suara mengumumkan bahwa Bupati Ende telah tiba di Lapangan Pancasila. Upacara segera dimulai. Tidak fokus Mira mengikuti jalannya upacara; kupingnya masih mendengar komentar ibu-ibu tentang pemimpin upacara yang bertubuh tegap, betapa rindunya mereka menyaksikan Paskibra yang digelar setahun sekali ini, dan ... batu akik. Sesekali kuping Mira mendengar celetukan, “gagah naaa ...” (bagusnya!) dari mereka.
Satuper satu acara bergulir hingga penyerahan hadiah kepada peserta lomba ini-itu. Masyarakat juga sudah tidak sabar menanti lomba panjat pinang.
Pukul 12.00 suara perempuan dari pengeras suara mengumumkan lomba devile akan segera dimulai. Mira bergegas berdiri, mencari tempat paling depan di Jalan Soekarno. Dia ingin menyaksikan Wawan beraksi. Setelah berpayah-payah dalam desakan manusia dengan bermacam aroma, dia akan bersantai sejenak di ruang kerja Diba yang menurut Ucup sangat nyaman—menunggu dua saudari kembarnya memberinya hadiah pra-nikah. Hidup sungguh indah.

xxXXXxx

Magda menghela nafas panjang-panjang. Ruang kerja yang biasanya hanya dihuni dua orang: dirinya dan Diba, mendadak berubah menjadi pasar malam. Suasana tenang dan nyaman yang selama ini tercipta berubah tegang dan ribut. Ribut karena sejak muncul di ruang kerja beraroma jeruk ini mulut Ucup tidak henti-hentinya mengomel, “semua Kakak saya ... sinting! Harusnya sekarang saya dan Dek Febri lagi asyik-asyikya menikmati es campur Warung Bangkalan yang cihuy itu!”
“Diam kau, Cup!” hardik Diba yang sedang membaca e-mail dari Sheena. Perempuan asal Denmark itu menulis cara membuat bananaque: pisang bakar a la Orang Philipina.
“Arrgggh!”
Atha duduk manis di sofa. “Kira-kira dia mau datang ... atau tidak?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Atha.
Pukul 12.25 Margaret mengirim pesan pada Diba yang dibalas Diba dengan satu kata: belum.
Pukul 12.35 pintu ruang kerja membuka. Mira dan Wawan datang.
“Hei ... ayo duduk dulu,” sapa Atha. “Mag, siapkan minum lah ...”
“Hmmm. Nyaman sekali,” ujar Mira. “Berapa penghasilan kau sehari, Dib?” dia bertanya tanpa basa-basi.
“Ha?” Diba melongo, kaget ditanya begitu oleh Mira. “Eh ... ah saya tidak tahu. Tanya Magda saja. Dia yang mengurus segalanya.”
“Oh.” Angkuh, Mira duduk di sofa. Wawan menyusul, duduk di sampingnya.
Cekatan tangan Diba mengirim pesan untuk Margaret. Isinya: segera, sekarang.
“Jadi ... akhirnya Baba mau juga serahkan tigabelas perahu motornya untuk saya,” celetuk Mira.
Atha mengibas tangan. “Yaaa ... saya dan Diba juga tidak seberapa butuh. Pikir kami, kau dan Mas Wawan kan mau merit ... jadi apa salahnya kalau kami membujuk Baba untuk menyerahkan tigabelas perahu motornya untuk kau?” lantas tersenyum.
Ucup melirik kesal.
“Terima kasih,” seru Mira.
“Makanya kita minta kau dan Mas Wawan datang. Ada dokumen yang harus ditanda-tangani,” sambung Diba.
“Dan ... kau, Cup?” Mira menoleh pada adik bungsunya.
Ucup mengedik bahu. “Saya PNS, Kak. Tidak butuh.”
Mira tertawa. Sumbang dan palsu. “Terima kasih. Kalian begitu baik!”
“ ... ”
Diba bangkit, hendak mengambil kertas untuk mencetak sesuatu—sesuatu yang diharapkan Mira dokumen kepemilikan tigabelas perahu motor milik Baba. Gerakan Diba dihentikan oleh dering G-Note. Dia menerima panggilan itu. “Halo? Hah? Apaaaa? Kalian sudah tiba? Busyeeeet. Oke ... nanti saya suruh Petrus jemput. WHAT!? Astaga! Segera masuk!”
“Kenapa kau, Dib?” tanya Atha. “Macam orang linglung begitu!”
“Teman melancong saya ... sialan ... datang tidak kasih kabar duluan,” balas Diba anteng. “Mereka malah sudah di depan.”
“Oh ya? Suruh masuk saja, Dib,” sambar Mira.
Pintu ruang kerja Diba membuka.
Assalamu’alaikum!
“...”
“...”
Wa’alaikumsalam ...
Wawan mematung.
“Halo, Wira,” tegur Pram dan Prita bersamaan.
Wawan berharap saat ini juga Tuhan menghadiahi umatNya gempa bumi berskala 9,2 atau tsunami yang mampu menenggelamkan Pulau Flores. Dalam hitungan detik adrenalin Wawan memaksa jantungnya berdetak semakin cepat dan tak beraturan. Nafasnya memburu. Dia tidak siap. Dia tidak siap melihat orang yang pernah sangat dia cintai ...
“Ke mana saja kamu, Wira?” tanya Prita lembut. Dia duduk di samping Wawan, memegang lengan laki-laki itu.
“Hei!” hardik Mira. “Lepaskan dia!”
“Aku udah pernah melepaskan dia, Mira,” balas Prita.
“Dari mana kau tahu nama saya?” Mira didera penasaran. Dia dan Wawan adalah dua orang yang sama sekali tidak tahu-menahu rencana Atha dan Diba.
“Aku udah pernah ngerasain sakitnya ditinggal setelah dia ... dia ...” Prita terisak.
“Prit,” Pram mengajak Prita berdiri, memindahkan Prita ke kursi kerja Magda.
“Sebenarnya ada apa ini?” tanya Mira kebingungan. Bukan situasi ini yang dia harapkan ketika datang ke Shadiba’s Corner. Di dalam benaknya dia akan menandatangani perjanjian penyerahan usaha Baba, lantas menjadi perempuan kaya raya yang mewarisi tigabelas perahu motor, dan akan menikahi Wawan.
“Lihat, Wira. Inilah Prita yang pernah kamu cinta ... dulu ... kamu lihat dia sekarang? Tidak secantik dulu sebelum kamu tinggalkan dia kan?” serang Pram.
“Apa-apaan ini!?” hardik Mira.
Wawan tertunduk lemas. Hidupnya seakan telah tamat di ruangan beraroma jeruk ini.
“Mas Wawan!” raung Mira. “Jelaskan!”
“Nanti juga kau akan tahu, Mir,” ujar Diba.
“Tahu apa?” Mira menyerang Diba, “kau jangan macam-macam sama saya, Dib!”
“Kalian berdua! Diam!” hardik Atha.
Wawan mengangkat wajah. Dia menengadah, menatap langit-langit. “Aku cinta kamu,” ujarnya.
“Aku?” tanya Prita.
“Saya?” tanya Mira.
“Aku cinta kamu ... Pram,” lirih suara Wawan.
Hening tercipta di ruang kerja ini. Keheningan ini bak keheningan yang datang usai bom atom meledak di Nagakasi dan Hiroshima.
Mulut Ucup dan Diba bahkan tidak mampu terkatup.
“Aku?” Pram menatap Wawan lekat-lekat. Syok.
“Ya. Kamu.”
Prita merangsek, Pram memeluk pinggangnya. “LALU KENAPA KAMU HAMILIN AKU, HAH!!? KENAPAAAA!??”
“Karena nafsu, Prit,” jawab Wawan. Tubuhnya bergetar. “Karena nafsu. Tapi waktu kamu hamil, aku tahu aku nggak bisa selamanya bertopeng. Mana bisa aku menyiksa perasaanku sendiri?”
“DASAR PEMBOHOOOONG!” raung Mira. Kali ini Ucup bergerak cepat menarik Mira, menjauhi Wawan. “PEMBOHOOOONG!”
“Mas Wawan kenal Boy?” tanya Atha.
Wawan terperangah.
“Tidak cukup kah, Boy? Kenapa harus Ahmad? Kenapa harus Wati yang kemudian jadi korban, Mas?” serang Atha. Dia tahu dasar orientasi seksual Ahmad itu normal. Rayuan Wawan yang telah membengkokkannya.
Wawan menyerah. Tidak ada satu pun penjelasan yang sanggup dia berikan pada Atha.
“Boy? Jadi ... dia bukan adik angkat kau, Mas!?” kejar Mira, meronta-ronta dalam pelukan Ucup. “Pembohong! PEMBOHONG!”
Atha dan Diba saling pandang. Berkali-kali Diba menelan ludah.

***
Bersambung

2 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Hay Ine apa kabar
    Jujur ine saya suka dengan cerita bersambung Triplet. Saat itu saya baca part 18 latarnya Labuan Bajo (kalau tidak salah, tolong dikoreksi).

    Sekarang memasuki part 24 latarnya Ende. Bagi saya ini menarik karena kalau dibaca secara seksama ada pesan tertentu yang ingin disampaikan (baik tersirat maupun tersurat).

    Namun ada bagian yang seperti ruang kosong dan saya tidak mengerti alurnya. Misalnya pada paragraf keempat dari tulisan triplet part 24. Tokoh Mira ada semacam konflik dengan tokoh si Baba dan saudara kembarnya (lihat paragraf keempat). Di bagian ini saya tidak paham dengan konflik-konlik sebelumnya.

    Jadi supaya runtut saran saya begini ine. Maaf lho ine ini hanya saran. Jangan marah, saya tidak bermaksud menggurui atau apa pun itu hanya ingin supaya tulisan yang baik ini dipahami secara berstruktur dari part 1 sampai part terakhir saat diposting. Saranya begini.

    Part sebelumnya: jika 24 berarti 23 jadi dibuat link tautan pada part sebelumnya.

    Jika part 23 berarti:

    Lihat part 22 lihat part 24 (part sebelumnya dan part sesudahnya dilink)

    Bagian bawah tulis: jika ingin lihat part pertama di sini.

    Cara ini pembaca bisa diberi solusi alternatif. Jangan salah lho mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia sering diminta menganalisis karya-karya seperti ini. Kadang dosennya suruh menganalisis karya yang belum dibukukan pada mata kuliah kritik sastra.

    Jadi inti dari maksud saya ine bisa lihat di tribunNwes.

    Adu maaf ini ine... Jangan jangan marah. Soal konten ini menarik, tidak semua orang bisa sampai pada mencipta. Ini hebat.

    BalasHapus
  2. Halo Pak Martin, kabar baik hehehe. Semoga Pak Martin juga selalu baik-baik saja.

    Terimakasih banyak atas komentar dan koreksiannya. Untuk Triplet memang ceritanya berseting di beberapa kota, seperti Ende, Labuan Bajo, Jakarta, dll. Ada perjalanan2 dari para tokohnya :D Dan kadang misal Part 2 di Ende, part 3 di Jakarta, semaca puzzle untuk menyatukan potongan-potongan cerita yang bertebaran :D

    Mungkin juga memang harus dimasukkan link setiap part atau memang harus baca marathon dari Part 1.

    Terimakasih Pak Martin,

    Salam.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak