Eko Poceratu Nyong Maluku Yang Mendunia Melalui Puisi

Credits: Maluku Post.

Eko Poceratu Nyong Maluku Yang Mendunia Melalui Puisi. Menulis cerpen dan puisi sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar tidak semerta-merta membikin saya terbaptis menjadi sastrawan. Perlu saya akui, bergelut dengan dunia tulis-menulis berbeda dengan bergumul dalam dunia sastra. Pisau adalah pisau. Tapi pisau bisa berbeda fungsi di tangan seorang koki, dan di tangan seorang pembunuh. Kata-kata itu sama. Tapi makna bisa berbeda. Penulis merangkai kata menjadi suatu cerita. Sastrawan merangkai kata menjadi suatu seni bercerita. Dan, dalam dunia sastra kita tahu begitu banyak penyair. Chairil Anwar, Taufiq Ismail, W.S. RendraSapardi Djoko DamonoWidji Thukul, hingga Bara Patty Radja yang berasal dari Pulau Adonara di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penyair adalah sastrawan hebat yang cerdas memilih diksi, merangkainya melalui kalimat-kalimat pendek namun padat dan syarat makna.

Baca Juga: Jangan Suka Nyablak Karena Bicara Itu Ternyata Ada Seninya

Suatu kali, tanpa sengaja, saya melihat video berjudul Tak Harus Sedarah Untuk Menjadi Saudara. Seorang laki-laki muda berdiri di panggung, membaca puisi tersebut, dan saya ternganga sampai video mencapai detik paling akhir. Puisi yang dia bacakan tidak menggunakan Bahasa Indonesia baku melainkan bahasa Indonesia yang telah di-Maluku-kan serta dialeg khas yang kita tahu itu dari Provinsi Maluku. Kalian bingung? Ambil contoh dua kalimat berikut ini:

Bahasa Indonesia:
Darah kami adalah darah Indonesia
Kami bersatu untuk bisa merdeka
Tidak memandang suku atau agama

Bahasa Indonesia yang di-Ende-kan:
Kami pung darah ni darah Indonesia
Kami bersatu untuk bisa merdeka
Ti lihat suku atau agama

Sampai di sini kalian paham kan?

Apalah-apalah istilahnya, yang jelas hari itu dunia saya berubah. Laki-laki muda itu bernama Eko Poceratu. Sesaat setelah video Tak Harus Sedarah Untuk Menjadi Saudara saya jadikan status WhatsApp (WA), seorang adik bernama Tessa Ngga'a mengirimkan lebih banyak video puisi-puisi Eko Poceratu. Alamak, betapa beruntungnya saya! Ternyata saya tidak sendiri. Hahaha. Pada akhirnya saya memburu Eko, oalah bahasanya, hingga ke Youtube. Langsung subscribe, hidupkan lonceng notifikasi, like, share, dan bahagia setiap kali melihat notifikasi video puisi barunya diunggah. 

Eko Poceratu


Makassar Writers menulis sebagai berikut: Lahir di Tihulale, 2 Mei 1992. Sejak lulus SD sudah sudah tertarik dengan dunia sastra ketika membaca puisi W.S. Rendra di perpustakaan sekolah. Mulai merantau ke Ambon setelah lulus SD. Di bangku SMP mulai tekun menulis puisi dan cerpen untuk uang jajan dan tabungan. Kecintaan untuk menulis terbawa sampai kuliah. Sejak saat itu bersama kawan-kawan mendirikan Bengkel Sastra Batu Karang. Sekarang telah mendirikan Bengkel Sastra Kintal Sapanggal dan melakukan berbagai kegiatan sastra bersama remaja dan pemuda. Mendirikan taman baca dan mengadakan beberapa kelas untuk anak-anak sekolah. Selain itu, ikut bergabung dengan Bengkel Sastra Maluku, ibu dari komunitas sastra di Maluku yang telah melakukan kegiatan bersama seperti Konspirasi Puisi Jilid 1-3 (Konspirasi puisi mengangkat isu-isu terpanas di Maluku). Bersama Marthen Reasoa (Penyair) mengadakan Ranjang Puisi yang membahas puisi-puisi ranjang dengan tujuan mengurangi tindakan pelecehan dan pemerkosaan yang marak terjadi di Ambon, terkhusus kepada remaja dan pemuda.

Sedangkan dari blog Eko sendiri, tertera informasi sebagai berikut: Eko Saputra Poceratu, lahir di Tihulale, 2 Mei 1992. Ayah bernama Yohanes Poceratu dan ibu bernama Maria Pariama. Pernah tergabung dalam beberapa antologi bersama seperti, Antologi Puisi Biarkan Katong Bakalae (2013), Pemberontakan Dari Timur (2014), Antologi Mata Aru, Antologi Kita Dijajah Lagi (2017), Rasa Sejati (2018), Antologi Puisi Banjar Baru’s Rainy Day Literary Festival (2017-2018). Merupakan penulis Emerging di Makassar International Writer’s Festival di Fort Rotterdam (2018) dan salah satu penulis dalam Festival Sastra dan Rupa Kristiani di Jakarta (2018). Sampai saat ini telah menerbitkan sebuah novel romansa, Pelangi Biru (2013), Cerpen Di Jalan-Jalan yang Kita Curi (2014) dan telah menerbitkan Kumpulan Puisi Hari Minggu Ramai Sekali (2019).

Dari dua informasi di atas dapat saya simpulkan bahwa darah penyair tidak mengalir di setiap tubuh manusia. Darah itu harus punya aroma bakat, terkontaminasi, terus terasah dan dipoles hingga menghasilkan nada sendiri, diimbuh sesuatu yang saya sebut kecerdasan berpuisi. 

Ciri Khas yang Mendunia


Maluku Post menulis sebagai berikut: Penyair asal Maluku Eko Saputra Poceratu mendapat kesempatan residensi sebulan di Leiden, Negeri Belanda. Demikian pengumuman Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Situs www.Islandofimagination.id menyiarkan Pengumuman Penerima Residensi Penulis Indonesia 2019, persis pada HUT ke-74 RI, Sabtu (17/8).  Eko tidak sendiri.  Dia lolos bersama 33 penulis Indonesia lainnya, yang bakal menjalani masa residensi di berbagai kota dan negara di dalam dan luar negeri. Menurut situs tersebut, program residensi penulis Indonesia dilaksanakan pertama kali tahun 2016. Pada tahun 2019 ini, Tim Seleksi dari  Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyeleksi 437 aplikasi yang masuk. Tim memilih 34 nama yang akan mengikuti program residensi selama 1-3 bulan, antara Oktober-Desember 2019.

Berikutnya, kalau saya salah silahkan koreksi melalui komen di bawah untuk koreksi, saat berada di Belanda itu Eko tampil di De Balie, Amsterdam. De Balie adalah teater dan pusat politik, budaya dan media, dengan kafe-restoran di Kleine-Gartmanplantsoen 10, di Leidseplein di Amsterdam, Belanda. Itu kata Wikipedia. Hahaha. Ada dua puisi yang saya nonton videonya saat Eko tampil di De Balie yaitu Tak Harus Sedarah Untuk Menjadi Saudara dan Mana Ale Pung Maluku?. Dua puisi tersebut dibawakan full ciri khas Eko. Sangat berkarakter. Santai tapi menikam, kekuatan diksi, rima yang tepat, majas yang memukau, hingga dialeg Maluku yang kental. Kawan, ciri khas itu bakal langsung tertancap dalam jiwa semua orang yang menonton. Setidaknya itu yang terjadi pada saya.

Mari kita simak Tak Harus Sedarah Untuk Menjadi Saudara berikut ini:

Su paleng lama orang-orang di negara ini
Permasalahkan perbedaan itu deng ini
Mayoritas mau tekan minoritas
Popularitas jadi politik di atas kartas

Apa katong harus seagama, baru bisa dibilang sesama
Apa katong musti sedarah, baru bisa dibilang saudara
Apa katong harus sekandung, baru bisa dibilang gandong
Apa katong musti sesuku, baru bisa dibilang satu tungku
Apa katong musti seiman, baru bisa saling cinta
Apa katong musti seajaran, untuk saling mengerti perasaan

Kalo baku sayang sedangkal itu
Bagaimana kasih bisa menyatu?

Apa beta harus Jakarta, baru bisa dibilang Indonesia
Apa beta harus makan nasi, baru bisa disebut NKRI

Kalo keadilan seperti itu
Bagaimana perasaan bisa menyatu

Apa katong harus makan sawi, untuk jadi manusiawi
Apa katong musti satu RAS, untuk jadi manusia waras

Kalo kemanusiaan sedangkal itu
Dan kebinatangan sedalam laut,
Bagaimana cinta akan terselami

Apa beta harus lahir di Barat, untuk bisa adil di Timur
Apa beta musti blajar di Ibukota, baru di desa dapa jatah
Apa beta harus berpolitik, baru distrik dapa listrik
Apa beta harus punya investasi, baru dianggap punya kontribusi
Apa beta musti punya tambang, Baru dibilang bisa menyumbang
Apa beta musti punya emas, baru bisa jadi anak mas
Apa beta musti punya gas abadi, baru bisa dapat subsidi
Apa katong musti makan raskin, baru dibilang orang miskin

Kalo kehidupan sesempit itu
Lapang dada seng cukup
Tampung dalapang huruf:
S
E
N
G
S
A
R
A

SENGSARA.

*berdiri*
*tepuk tangan paling meriah*
*lempar bunga ke panggung*

Channel Youtube


Saya yakin kalian yang belum tahu Eko bakal sama ternganganya dengan saya. Haha. Jangan kuatir, kalian tentu bisa menonton dan mendengar suara Eko melalui video-video yang diunggah di channel Youtube-nya. Silahkan di-klik. Video terbarunya bikin perasaan jadi bemana begitu ... Cinta Perlu Pengakuan:



Hai lelaki di luar sana, cinta perlu pengakuan, jangan pakai kode-kode lagi, ya. Hahaha. Kalau cinta, akui. Jangan sembunyi. Huhuhu. Eko eee, entah kalimat apa lagi yang bisa saya sampaikan. Saya betul-betul kagum. Anyhoo, jangan lupa untuk subscribe dan turn on notifikasinya. Supaya kalian tidak melewatkan video baru yang diunggah Eko. Dia memang menggunggah video secara rutin. Mendengar suaranya ibarat menutrisi jiwa.


Saya perlu menulis epilog ini. Indonesia memang selalu terpusat di Jakarta dan/atau Pulau Bali. Tidak heran. Jakarta adalah Ibu Kota Negara. Pulau Bali adalah ikon pariwisata Indonesia. Yang hebat-hebat identik dengan Baratnya Indonesia. Ketika yang hebat itu datang dari Timur, murni lahir dan besar di Timur, ada kebanggaan dalam diri saya. Mungkin kalian orang dari Timurnya Indonesia juga sama bangganya. Perjuangan orang-orang dari Timur kini tidak sesulit dulu. Dulu, ada banyak pulau yang harus dilewati untuk bisa dikenal khalayak. Tapi sekarang, untung ada internet, kita tidak butuh beli tiket pesawat mahal-mahal untuk memperkenalkan karya kita pada khalayak melalui Jakarta. Musisi bisa langsung mengunggah karyanya di Youtube, Penyair pun demikian, bahkan konten-konten tentang indahnya Indonesia bagian Timur ini sudah bertebaran di Youtube dan dibikin sendiri oleh orang dari Timurnya Indonesia. Iya, internet memangkas birokrasi. Haha.

Baca Juga: Geser Dikit Halaman Hatimu dari Bara Patty Radja

Semoga pos hari ini cukup membahagiakan kalian. Sama seperti saya yang menulisnya dengan buncahan bahagia. Dan, mari angkat topi untuk Eko Poceratu, Nyong Maluku yang mendunia lewat puisi.

#SabtuReview



Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak