KKN di Desa Penari yang Menggemparkan Dunia Maya


KKN di Desa Penari yang Menggemparkan Dunia Maya. Jadi blogger itu enak juga. Banyak menulis, banyak membaca, banyak informasi baru yang diketahui dan diolah. Jadi orang yang suka menulis dan membantu banyak teman itu juga ada enaknya, karena dihadiahi banyak buku salah satunya buku berjudul Penari di Desa KKN yang menggemparkan dunia maya. Gemparnya mungkin sudah lama tapi saya baru tahu beberapa bulan terakhir. Maka Kahar, adik saya itu, membeli buku ini saat dia cuti ke Jakarta. Jelas, sudah dia baca duluan saat dalam perjalanan pulang ke Ende (di kapal laut). Katanya, dia membaca sampai tiga kali. Baiklah ini berat berarti.

Baca Juga: Cerita Dari Festival Literasi Nagekeo 2019 di Kota Mbay

Ternyata, setelah saya baca, ini termasuk buku ringan-ringan saja. Membacanya pukul 10.30 Wita sembari pertemuan Panitia Wisuda Uniflor 2019, terus pulang ke rumah saya maskeran dulu sama si Thika, baru lanjut membaca sekitar pukul 14.00 Wita. Selesai pukul 16.00 Wita. Sekitar itu. 

Memangnya apa dan bagaimana buku KKN di Desa Penari yang ditulis oleh Simpleman ini?

Marilah kita tengok.

Menggemparkan Dunia Maya


Itu kalimat yang saya baca di sampul belakang buku ini. Tidak ada tulisan tentang kisah nyata sama sekali. Atau saya melewatinya? Entah. Karena di bagian paling awal pun tidak ada prakata atau prolog (epilognya ada!). Mungkin kalian tahu pasti ini kisah nyata? Yuk bagi tahu di komen. Dari kisah nyata yang menggemparkan dunia maya. KKN di Desa Penari kini diceritakan lewat lembar lembar tulisan yang lebih rinci. Menuturkan kisah Widya, Nur, dan kawan-kawan, serta bagian bagian yang belum pernah dibagikan di mana pun sebelumnya. (sampul belakang buku KKN di Desa Penari).

Buku bersampul warna hitam dengan tulisan judul warna merah ini punya 253 halaman. Penulisnya, sudah saya tulis di atas: Simpleman. Diterbitkan oleh P.T. Bukune Kreatif Cipta. Secara keseluruhan buku ini terbagi dalam tiga bagian yaitu Widya, Nur, dan Epilog. Artinya buku ini ditulis dari sudut pandang Widya, sudut pandang Nur, serta rangkuman atau kesimpulan akhirnya. Fiksi atau non-fiksi, entah, tapi yang jelas banyak kejanggalan dari kisah enam mahasiswa yang melaksanakan mata kuliah KKN tersebut. Kalau mau tahu, silahkan baca sampai selesai. Hehe.

Garis Besar


Diceritakan pada tahun 2009, enam mahasiswa, tiga cewek tiga cowok, melakukan KKN secara mandiri di sebuah desa yang dikenal dengan nama Banyu Seliro atau lebih dikenal dengan nama Desa Penari. Terletak di Jawa Timur. Enam mahasiswa itu adalah Widya, Ayu, Nur, Bima, dan dua sahabat Wahyu dan Anton. Bagaimana mereka bisa sepakat melaksanakan KKN di desa mahaterpencil itu, saya juga tidak tahu, mungkin karena desakan harus selesaikan mata kuliah pengabdian pada masyarakat yang satu ini. Yang jelas, mereka mendapat bantuan dari Ilham, kakaknya Ayu. Ilham pula yang memperkenalkan Ayu dan Nur pada inisiasi awal dengan desa dan penduduknya.

Untuk sampai di desa tersebut enam mahasiswa tadi harus turun dari mobil dan menumpang sepeda motor beberapa warga yang menjemput. Kenapa? Karena akses jalan ke desa tidak bisa menggunakan mobil, terlalu parah, dan sepeda motor pun harus yang sudah berpengalaman. Selain itu, jalan ini membelah hutan dan/atau melintasi hutan yang konon lumayan angker. Saya bertanya-tanya, mungkin juga kalian, sudah tahu angker kenapa masih nekat? Entah.

Ada beberapa kisi yang harus dipahami oleh pembaca buku KKN di Desa Penari.

1. Desa 'Kembar'.

Desa Penari punya kembaran yaitu desa tak kasat mata yang dihuni lelembut super kuat. Untuk menghindari desa dari ancaman balak/bencana maka sejak dulu penduduk setempat menumbalkan anak gadis/perawan untuk desa kembar tersebut. Semakin ke sini tumbal tersebut berganti dengan sesajen. Kedatangan tiga mahasiswi/gadis ke desa tersebut seumpama kiriman tanki air ke gurun. Makanya mereka pun mulai diganggu.

2. Lagi-Lagi Cinta

Ayu menyukai Bima. Bima menyukai Widya. Widya ... entah menyukai siapa. Yang jelas, Bima yang jebolan pesantren itu pun tergoda membuat perjanjian dengan lelembut agar bisa mendapatkan hati Widya melalui selendang hijau penari (dan gelang lengan yang biasa dipakai oleh penari). Sedangkan Ayu yang dimintai Bima untuk menyerahkan selendang itu malah menghilangkannya, demikian kira-kira yang saya tangkap. Tidak tahu apa yang merasuki Bima, selain itu dia juga melakukan perbuatan terlarang yaitu melakukan hubungan suami-isteri dengan Ayu. Mengaku menyukai Widya, tapi gituan sama Ayu. Mungkin ini yang dinamakan nafsu sudah di ubun-ubun tinggal meledak.

3. Pada Akhirnya Nyawa Menjadi Taruhannya

Karena melakukan perbuatan di luar batas yang telah disampaikan oleh Pak Prabu sebagai kepala desa, maka pada akhirnya Bima dan Ayu harus menanggung semuanya. Sukma keduanya terjebak di desa 'kembar' tersebut, dan kemudian meninggal dunia setelah beberapa bulan kembali ke rumah.

Setelah membaca kisah Widya, lalu membaca kisah Nur, memang terjadi repetisi, meskipun dari sudut pandang berbeda. Bagaimana pandangan Widya terhadap Nur dan teman-temannya, bagaimana pandangan Nur terhadap Widya dan teman-temannya. Tetapi jelas, dalam cerita ini kita akan tahu bahwa Widya cenderung lebih terbuka pada apa yang dia dengar dan saksikan. Sedangkan Nur jauh lebih tertutup pada apa yang dia dengar dan saksikan, dan hanya mau menceritakannya kepada Pak Prabu dan, tentu saja, Mbah Buyut.

Kejanggalan


Mohon maaf kepada Simpleman kalau saya menulis kejanggalan dari buku ini. Namanya juga pembaca, ada saja kan yaaaa yang melintas di kepala saat membaca (imajinasi juga bermain di sini). Kejanggalan-kejanggalan itu antara lain:

1. Kenapa Nur Diam Saja?

Saat pertama kali melintasi hutan, menuju desa, bukan hanya Widya saja yang mendengar suara gamelan dan melihat siluet perempuan menari di tengah hutan. Nur juga mendengar dan melihatnya. Tetapi Nur diam saja. Padahal sebagai mahasiswi, dia harusnya juga kritis, karena hal-hal gaib itu tidak selamanya baik, ada pula yang jahat. Bagaimana kalau sebenarnya yang diincar itu Nur? Pasti bakal repot juga.

2. Perlindungan Pak Prabu

Pak Prabu ini kan kepala desa. Sebagai kepala desa yang sudah tahu sejarah desa tersebut, seharusnya dia memberikan perlindungan ekstra kepada mahasiswa yang KKN di desanya. Terutama hal itu berkaitan dengan hal-hal gaib. Bukannya sejak semula Pak Prabu bisa meminta bantuan dari Mbah Buyut untuk melindungi para mahasiswa, bukannya menunggu satu peristiwa terjadi terlebih dahulu? Karena, kan dia juga sudah tahu bahwa penduduk desa 'kembar' itu pada ganas-ganas. Hehe. Atau, setidaknya Pak Prabu sudah lebih dulu melakukan ritual tolak bala(k) sebelum mahasiswa tiba di desa, sebagai tindakan pencegahan. Pada akhirnya Pak Prabu mengatakan kalau dia akan menerima semua konsekuensi dari kejadian 'hilang'nya sukma Bima dan Ayu yang terjebak di desa 'kembar'.

3. Bima yang Kualat

Yaaa namanya juga lelaki. Andai saja Bima bisa menahan diri, mungkin semua ini tidak terjadi. Kalau boleh saya bilang, pangkal permasalahan mereka di desa tersebut adalah perasaan Bima pada Widya yang kemudian melibatkan lelembut serta Ayu sebagai perantara yang memotong jalan.

Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung


Pepatah ini sangat benar dan harus diaplikasikan dalam kehidupan umat manusia. Di mana pun kita berada, harus bisa menjaga - menghargai - menghormati adat dan budaya setempat. Jangan memaki, jangan menyinggung perasaan penduduk dengan sikap dan perkataan yang tidak sopan, jangan melewati batas-batas yang telah dipesankan oleh sesepuh desa. Ini penting! Kalau tidak, ya bisa lah peristiwa yang tidak bagus terjadi.

Nur, seorang mahasiswi yang diceritakan sangat taat pada agama. Rajin shalat di mana pun dia berada termasuk di Desa Penari yang tidak punya masjid/mushola/langgar/surau. Diceritakan selain rajin shalat, Nur juga punya seorang penjaga yaitu Mbah Dok. Saya yakin Mbah Dok yang selalu mengikuti Nur sebenarnya adalah nur/cahaya dari perilakunya yang tidak pernah melepas shalat. Katanya setiap kali Nur merasa tubuhnya berat, itu berarti Mbah Dok sedang bertarung melawan lelembut desa 'kembar' yang hendak mengganggu Nur.

KKN Mandiri


Entah dengan jalur mandiri ini, yang saya tahu di Uniflor tidak ada KKN jalur mandiri karena semuanya diatur oleh kampus. Jadi, mahasiswa hanya bertugas mendaftar, membayar biaya KKN, mengikuti keputusan panitia dalam pembagian kelompok dan desa tempatan, dan menjalankan KKN serta proker masing-masing dengan arahan dan bimbingan dari Dosen Pembimbing/Pendamping Lapangan. Sebagai bentuk tanggung jawab, dosen pula yang akan mengantar mahasiswa ke desa tempatan, diterimanya di kantor desa dengan acara penyambutan oleh perangkat desa, dengan dihadiri oleh calon orangtua angkat mereka di desa bersangkutan.

Baca Juga: Karya Mereka Terlalu Eksklusif Untuk Tayang di Televisi

KKN di Desa Penari jelas menggambarkan tentang KKN Mandiri tanpa dampingan dosen sama sekali. Jadi, mahasiswa mengatur sendiri semuanya. Ini kan repot. Kalau terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab? Kepala desa sendiri yang bertanggung jawab? Mahasiswa yang mau dan sadar ingin KKN Mandiri bagaimana? Tidak dimintai pertanggungjawabannya? Terutama Ilham sebagai kakaknya Ayu yang memperkenalkan desa ini.

Repooootttt.

⇜⇝

Saya tidak bisa bilang ini kesimpulan akhir karena toh setelah membaca buku KKN di Desa Penari saya belum bisa menyimpulkan apa-apa selain pepatah: di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Yang jelas kalian harus membaca sendiri untuk bisa sampai pada kesimpulan sendiri. Buku ini betul-betul misterius dari pemahaman yang berbeda.

Selamat berakhir pekan, kawan.

#SabtuReview



Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak