Kartini Pendidikan

Pakai kebaya dan sarung Mangga yang hanya dilipat jadi mirip rok hahaha.

Pendidikan. Bukan hanya guru (di sekolah) atau dosen (di universitas atau perguruan tinggi) atau guru agama yang punya peran penting dalam dunia pendidikan. Setiap orang berperan dalam dunia pendidikan. Manusia yang lebih tua mendidik yang lebih muda. Manusia yang lebih cerdas mendidik yang kurang pengetahuan. Manusia yang berpengalaman mendidik yang kurang pengalaman. Tidak perlu menjadi guru atau dosen untuk kita bisa mengajarkan kepada anak muda tentang pentingnya sopan santun dalam bermedia sosial. Pun, tidak perlu menjadi seorang ulama untuk bisa mengajarkan kepada keponakan sendiri tentang shalat lima waktu, mengaji, dan sedekah.

Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama kita memperingati tiga hari besar yaitu Isra' Mi'raj, Hari Kartini, dan Hari Pendidikan Nasional (besok, 2 Mei). Sedikit intermezo, saya ingin bercerita tentang Hari Kartini yang telah kita peringati minggu kemarin. Tanggal 21 April 2018 saya diundang sebagai pembicara dalam salah satu program RRI Pro 1 Ende. Tema program itu adalah tentang perempuan, jaman digital, dan melawan hoax. Karena diundang sebagai blogger, maka saya berbicara dari ranah perempuan dan ranah dunia menulis. Salah satu yang masih saya ingat waktu itu saya berkata, "Bagi saya, makna Hari Kartini adalah perempuan dan menulis. Coba kalian bayangkan kalau dulu Kartini tidak menulis surat, mana kita tahu apa yang dipikirkan dan dirasakannya? Surat-surat itu menjadi warisan untuk kita semua, Kartini masa sekarang dan Kartini masa depan. Maka, menulislah."

Agak lebay ya saya haha.

Karena saya tipe orang yang kalau bicara sering tidak terstruktur alias bisa lebar ke mana-mana, maka bekal berbicara di radi sore itu saya ketik dan print-kan. Ini dia tips melawan hoax dari saya.
BAGAIMANA MELAWAN HOAX?

Yang pertama: CEK-RICEK BERITA.
Ketika ada berita bernada provokasi yang melintas di lini Facebook, saya cek dulu itu situsnya terpercaya atau tidak? Meskipun tidak semua media besar bisa kita percayai. Tapi jika berita yang sama juga dimuat di lima situs terpercaya lainnya, saya pasti akan mempercayai berita tersebut, berdasarkan sumber data yang ada. Contoh: berita tentang anak kambing berkepala dua. Berita seheboh itu pasti bakal ramai juga di media besar, jadi saya bakal cross check dulu baru ikut bagikan. Tapi kalau tidak, ya saya tinggalkan. Yang saya herankan, di Twitter itu jarang ada berita hoax, mungkin karena saya memang hanya mem-follow media terpercaya, jadi soal berita lebih enak memang lihat di Twitter ketimbang Facebook.

Yang Kedua: TIDAK IKUT MEMBAGIKAN.
Mungkin teman-teman bisa melihat, bahwa status Facebook saya jauh dari berita-berita yang kurang berfaedah. Karena, menurut saya, dengan kita membagikan berita hoax ditambahi tulisan “jangan percaya, ini berita hoax” pun, kita sudah bikin berita hoax itu tersebar ke ribuan teman Facebook kita, misalnya. Yang belum tentu semuanya paham dengan maksud kita.

Yang ketiga: MELAPORKAN.
Melaporkan. Kalau kita sudah corss check dan ternyata itu benar-benar hoax, tidak usah ikut dibagikan dengan komentar macam-macam, cukup melaporkan pada Facebook, misalnya. Atau bisa melaporkan berita atau link-nya. Untuk media sosial Facebook, gunakan fitur Report Status dan kategorikan informasi hoax. Jika ada banyak aduan dari netizen, biasanya Facebook akan menghapus status tersebut. Saya pernah dimintai bantuan oleh Ilham Himawan untuk melapor di Facebook terkait membuatan akun palsu yang memakai nama dia dan foto profilnya memakai foto yang sama dengan akun Ilham yang asli. Tidak perlu menunggu waktu lama, Facebook langsung menghapusnya.

Untuk Google, bisa menggunakan fitur feedback untuk melaporkan situs dari hasil pencarian apabila mengandung informasi palsu. Twitter memiliki fitur Report Tweet untuk melaporkan twit yang negatif (provokasi, hoax, dan lain sebagainya), demikian juga dengan Instagram. Tapi secara umum semua orang yang pakai internet boleh melapor konten negatif seperti yang tersebut di atas kepada aduankonten@mail.kominfo.go.id

Yang Keempat: MENJADI HOAX BUSTER.
Melawan hoax itu sebenarnya mudah; yaitu dengan menjadi HOAX BUSTER. Bagaimana caranya kita bisa menjadi HOAX BUSTER? Ya, dengan menjadi jurnalis warga yang menulis tentang kebenaran. Orang menulis Danau Kelimutu ada di NTB misalnya, kan hoax itu. Caranya kita membalas tulisan itu menggunakan data dan fakta bahwa Danau Kelimutu ada di NTT tepatnya di Kabupaten Ende. Itu artinya kita sudah menadi hoax buster. Menjadi hoax buster itu paling baik kalau kita berada pada dua tangga teratas dari TEKNOGRAFI SOSIAL.Ada sebuah buku berjudul LINIMASSA: PENGETAHUAN ADALAH KEKUATAN, Nukman Lutfie menulis tentang Tangga Teknografi Sosial. Tangga Teknografi Sosial ini diperkenalkan oleh Forester Research. Di dalam buku itu Nukman menulis bahwa: Salah satu sisi positif social media seperti blog, Facebook, dan Twitter adalah menguatnya fenomena jurnalisme warga. Pertengahan tahun Duaribuan, blog melahirkan lebih dari sejuta blogger Indonesia, yang begitu aktif menulis apa pun di blog masing-masing dan rajin memberi komentar di blog teman-temannya. Tiba-tiba, jurnalisme warga, yang sebenarnya bukan barang baru di radio, menguat di dunia maya. Dan, tanpa bisa ditahan, kian meledak dengan semakin popularnya Facebook dan Twitter. Tutup tahun 2010, pengguna Facebook di Indonesia tembus angka tigapuluh dua juta dan Twitter sekitar sepuluh juta pengguna.
Tapi pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana kita menjadi bermakna di lautan jutaan pengguna blog, Twitter dan Facebook? Bagaimana kita tidak sekadar menjadi blogger, pengguna Facebook, Twitter dan media sosial lainnya? Bagaimana kita bisa memberikan kontribusi positif, membrandingkan diri menjadi jurnalis warga yang dikenal dan diakui di bidangnya, lalu mendapat benefit yang layak?

Nukman Luthfie menjelaskan tentang Tangga Teknografi Sosial yang diperkenalkan oleh Forester Research. Di tangga teratas, ada golongan yang disebut sebagai Creator. Ciri utamanya adalah memiliki blog atau website pribadi yang rajin diperbarui serta membuat dan meng-upload audio atau video karyanya ke blog dan website. Bisa ke Youtube juga misalnya. Khusus untuk Indonesia ciri ini bisa disederhanakan menjadi: memiliki blog dan rajin memperbaruinya.

Di anak tangga kedua ada Conversationalist. Mereka adalah para pengguna Facebook dan Twitter yang rajin menulis status. Meski bukan Creator, mereka cerewet. Apa pun mereka tulis di status, mulai dari barang yang mereka konsumsi, diri sendiri, hingga urusan kantor. Kalau boleh saya tambahkan dari tulisan Pak Nukman ini, urusan buang angin pun mereka tulis di Facebook dan Twitter.

Kita lanjut pada anak tangga ketiga yaitu Critics, yaitu orang-orang yang tidak punya blog, tidak meng-update status di Facebook dan Twitter, namun mengomentari blog atau tulisan orang lain.

Berikutnya adalah Collectors. Collectors adalah orang-orang yang menggunakan RSS, dan memanfaatkan tag.

Di tangga berikutnya ada Joiners. Joiners ... ini orang-orang yang menurut saya lucu juga. Mereka hanya sekadar bergabung ke jejaring sosial.

Berikutnya ada Spectators. Orang-orang yang membaca informasi di jejaring sosial tapi tidak mempunyai akun.

Dan yang terakhir Inactive.

Namun hanya dua tangga teratas yaitu Creators dan Conversationalist yang berperan besar dalam mempengaruhi publik atau konsumen pada umumnya mengambil keputusan. Oleh karena itu, jika ingin membangun citra diri dan bermakna di media sosial, syarat utamanya adalah harus berada di tangga teratas yaitu memiliki blog atau website pribadi, lantas menggunakan Facebook atau Twitter untuk penyebarannya.

Dan, menurut saya, jika ingin menjadi hoax buster, jadilah Creators dan Conversationalist. Terutama sih menjadi Creators. Dengan menjadi Creators, kita ditantang untuk menulis konten sendiri, yang berdasarkan fakta dan data, bukan asal bunyi. Jika ada berita hoax, kita lawan dengan konten yang kita tulis sendiri.

Selain itu, ijinkan saya bercerita tentang peringatan Hari Kartini di Universitas Flores pada Senin, 23 April 2018 kemarin. Semua dosen dan karyawan Universitas Flores yang perempuan wajib mengenakan kebaya dengan bawahan berupa tenun ikat (tidak mesti tenun ikat asli Ende). Yang hebat menurut saya bukan hanya karena Pembukaan UUD 1945 selalu diucapkan (bukan dibaca, kami memang diwajibkan menghafal Pembukaan UUD 1945) tetapi juga penggerek benderanya! Tiga perempuan cantik: Stevin, Vera, Ryan, mengenakan kebaya dan menggerek bendera dengan sempurna. Biasanya setiap Senin pagi yang bertugas adalah bapak-bapak sekuriti. Saya terharu melihatnya. Apalagi amanat Pembina Upacara waktu itu, Mama Emmi Gadi Djou, sangat mengena di hati. Terimakasih kepada semua perempuan yang ada di Universitas Flores. Kalian hebat, kalian adalah Kartini Pendidikan.




 
Universitas Flores, sebagai universitas pertama di Pulau Flores yang masih berdiri gagah dan terus berkembang, adalah gudangnya Kartini hebat. Mereka, Kartini Pendidikan yang sangat berdedikasi dalam bidangnya, dan punya visi yang besar seiring visi Universitas Flores yaitu menjadi mediator budaya. Visi Universitas Flores ini sudah jelas dapat kalian pahami, bahwa dunia pendidikan akan menjadi tempat pendidikan karakter anak yang mumpuni jika bersinergi dengan budaya. Harmoni.

Masih tentang Kartini Pendidikan. 



Bagi saya Amak (Mama, Mamatua) adalah Kartini Pendidikan yang patut saya sayangi dan hormati. Menjadi seorang guru di usia 16 (enambelas) tahun, penuh lika-liku menghadapi karakter murid dan teman guru, pernah mengajar di kampung dimana tanah becek dan kaki penuh lumpur adalah hal yang tidak boleh disesalkan, kemudian mengantarnya menjadi seorang kepala sekolah dan guru teladan. Selain menjadi guru, Amak juga menjadi mentor bagi ibu-ibu di sekitar lingkungan sekolah yang pada sore-sore tertentu akan datang ke rumah kami untuk belajar memasak, menjahit, dan mengetik (karena Bapa saya punya tempat kursus mengetik dan kursus akuntansi bernama Sapta Indria). Gratis! Pendekatan mengajar Amak pada murid-murid SD dan ibu-ibu sangat jauh berbeda. Salut saya pada Amak. Hehe. Tidak heran Amak begitu dicintai oleh orangtua atau wali murid di lingkungan sekolahnya, ya ibu-ibu itu!

Setelah pensiun pun Amak masih mengajari bocah di kompleks rumah kami. Karena usia para bocah itu bermacam-macam dan beda kelas, maka Amak mengajar mereka sesuai dengan kemampuannya. Misalnya si Melly bertanya soal PR Matematikanya, tentu tidak akan sama dengan Chika yang belajar tentang nama-nama bunga atau nama-nama pahlawan. Kadang-kadang saya nimbrung mengajarkan para bocah itu bahasa Inggris. Mereka antusias, mereka gembira, kami pun gembira. Tapi saya tidak akan bisa menjadi seperti Amak, seorang guru teladan. Mana mungkin ... meskipun sering mengajar, terkhusus mengajari blog serta konten (menulis kreatif), saya tidak akan pernah bisa menyamai Amak.

Masih banyak Kartini Pendidikan di lingkungan sekitar kita baik itu di lingkungan keluarga, lingkungan rumah, lingkungan kantor, lingkungan pergaulan, dan lain-lain. Mereka, Kartini-Kartini yang berjuang untuk mendidik orang lain agar dapat kelak menjadi lebih berguna bagi orang lainnya lagi. Mereka tidak perlu diulas majalah ternama, diwawancarai host program teve, atau diberi penghargaan setinggi langit. Mereka sudah sangat puas dan bahagia jika melihat kerja keras mereka berbuah baik. Misalnya, orangtua pasti sangat bahagia melihat kesuksesan anak-anaknya, guru akan puas melihat kesuksesan anak didiknya, atau saya akan puas melihat orang-orang yang belajar membuat blog itu pada akhirnya rajin menulis untuk konten blog. Mungkin pula Bapa saya yang sudah di 'langit' itu pun tertawa bahagia melihat anak didiknya dulu kini telah membuka lapangan pekerjaan sendiri.

Selamat Hari Kartini (yang telat).

Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Kita hebat.



Cheers.

5 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Ini tulisan yang paling saya suka, terutama paragraf pertama.

    Pendidikan. Bukan hanya guru (di sekolah) atau dosen (di universitas atau perguruan tinggi) atau guru agama yang punya peran penting dalam dunia pendidikan. Setiap orang berperan dalam dunia pendidikan. Manusia yang lebih tua mendidik yang lebih muda. Manusia yang lebih cerdas mendidik yang kurang pengetahuan. Manusia yang berpengalaman mendidik yang kurang pengalaman. Tidak perlu menjadi guru atau dosen untuk kita bisa mengajarkan kepada anak muda tentang pentingnya sopan santun dalam bermedia sosial. Pun, tidak perlu menjadi seorang ulama untuk bisa mengajarkan kepada keponakan sendiri tentang shalat lima waktu, mengaji, dan sedekah.

    Jika semua orang tua murid seIndonesia membaca tulisan ini pastinya guru di sekolah tidak dibuat pusing dengan ... Stop jangan curhat. Suka bangat tulisan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, curhat juga tidak masalah. Pendidikan memang tanggungjawab kita semua ya :)

      Hapus
  2. Salut dengan semangat dan jiwa sosial yang tinggi dari Amak, tetap mengajarkan ilmu dan menularkan kebaikan untuk anak-anak di kompleks perumahan setelah usai masa pensiun 👍

    Salam buat Amak ya,kak Tuteh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam, Himawan. Terima kasih hehehe. Semangatnya itu yang patut terus kita tiru.

      Hapus
  3. Rawe rawe rantang, ... mas Himawan lanjutin hehehe

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak