Triplet ~ Part 6




Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.

***

PART 6





“... kenapa mereka terus mencari black box? Mereka kan bisa meminta bantuan ...”
“Kau pikir dunia kita yang hina dina ini mau percaya begitu saja sama kemampuan supernatural macam begitu?”
“Tapi ... kemampuan itu ... bisa membantu ...”
“Seandainya ... seandainya saja ... kemampuan itu juga bisa membantu The Big Spirit, nama yang kau berikan pada kami ...”
“Tidak. Dunia bekerja dengan cara yang sangat misterius.”
“Hah! Itu lagi jawabannya.”

Molekul-molekul itu bergetar. Mereka hidup. Energi mereka dihasilkan oleh elektron-elektron atom yang berputar. Segalanya terekam, tersimpan, menunggu saat yang tepat untuk meledak dalam keberdayaan yang tidak disengaja. It’s a gift. Menurut Kakek Ucup, Embu Rembotu lah pusat dari semua kemampuannya. Menurut ilmu dunia dan agama, semua kemampuannya adalah pemberian Allah SWT. It’s a gift! Kemampuan ini, apakah anugerah atau malapetaka, semakin lama tidak saja semakin kuat namun juga membelah diri.
Dia ingin berkelana, kali ini atas kemauan sendiri, melewati lorong waktu, pusaran-pusaran hitam, tersedot ke tempat-tempat baru, bertemu segala keterasingan, atau menyaksikan episode demi episode yang tersimpan, membisu, dan—bisa jadi—membusuk. Kadang-kadang ketika dia terpaksa berjalan, telapak kakinya merintih di atas kerikil, atau lumpur sedingin es ... menyertakan kebekuan.
Sepanjang usia dia dipaksa untuk mencari tahu, dan mengetahui, rahasia-rahasia paling kelam. Kali ini dia memaksa dirinya sendiri untuk mencari tahu. Pertemuan pertamanya dengan laki-laki berparas rupawan itu telah meninggalkan bongkahan penasaran. Seperti bola salju yang berguling; kian lama kian membesar. Semakin banyak misteri muncul dan dia memaksa diri sendiri untuk tahu lebih dalam. Sayangnya dia tidak sanggup menelusuri misteri ini setiap hari karena energinya terkuras atas pemaksaan orang lain. Dia hanya merenggut potongan-potongan gambar yang masih sulit didefenisikan.
Kemarahan laki-laki itu. Saya harus bertemu dengan dia lagi. Malam ini ... mungkin? Atau minggu depan? Pantulan duka perempuan itu. Saya juga harus bertemu dengannya.
“Kak!” Ucup mengibas tangan di depan wajah Atha. “Aaaah ... ngelamun lagi.”
“Kau yakin saya sedang ngelamun?”
Ucup manyun. “Sampai kapan kita tunggu di sini, Kak? Apa tidak ada tempat lain yang lebih keren?” dia menatap jalanan yang sepi. Sesekali tatapannya mengikuti langkah turis menuju Rumah Makan Khalilah yang menyediakan makanan khas Ende seperti wa’ai ndota, alu ndene, ika soa, rumpu-rampe, jagung bose, dan lain-lain.
“Sampai orang itu datang,” jawab Atha, memerhatikan relief para pejuang kemerdekaan di bagian bawah Monumen Pancasila, Simpang Lima.
“Siapa sih, Kak?”
“Nanti juga kau tahu.”
“Saya pernah kenal dia?”
Atha menggeleng. “Belum.”
Sepanjang usia dia bertemu dengan beragam karakter manusia. Ada tipe malu-malu, ada tipe malu-maluin. Ada tipe sopan dan pandai memilih kata, ada pula tipe blak-blakan dan tidak sabaran seperti adiknya yang saat ini dengan tidak rela mengantar sekaligus menemaninya menunggu seseorang. Cukup kenyang dia belajar karakter manusia. Cukup kenyang pula dia terseret arus emosi yang berbeda-beda, dari satu peristiwa ke peristiwa lain, dari satu masa ke masa lain, dari alam nyata ke alam mimpi. Jika Ndoriwoi berani sebrangi lautan dan melanggar perbatasan maka Atha, sengaja sebrangi dimensi untuk mencari jawaban dari segala keingintahuan.
Dulu, pertama kali dia bertamu ke alam mimpi, dia bertemu Kakek Ucup. Malam itu adalah malam ke-7 setelah pertemuan pertamanya dengan perempuan dalam hujan; tujuh hari setelah dia mengetahui rahasia benda-benda mati. Dia ingat pertanyaannya pada si Kakek.
“... mereka macam batu.”
“Kau mae—jangan paksa. Biar suda—sudah.”
“Kenapa cuma mereka lima, Kek?”
“Itu misteri Allah SWT.”

Sepanjang usia dia terus mencari jawaban tentang pelindung itu—jika memang ada—sehingga kemampuannya mental seumpana melempar bola pingpong ke tembok. Dia menamai kelompok kecil itu The Big Spirit, orang-orang yang tidak bisa ditembus.
“Kenapa kau tidak bisa menembusi kami? Kenapa?”

Seandainya bisa, dia pasti menjawab. “Keparat, saya belum punya jawabannya ...”
“Apa, Kak?” tanya Ucup.
Atha terkejut. “—oh. Tidak apa-apa.”
Jemari Ucup mengetuk kemudi X-Trail. Dia ragu. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk bertanya? Dia juga bingung jawaban apa yang akan dia berikan pada Pak Firman. Haruskah dia jujur? Atau memberikan kesempatan Pak Firman bertemu Atha—kakaknya, si penggemar Toothless?
Pelan, Atha memukul pundak Ucup hendak bertanya tentang kepergian Mira bersama laki-laki itu ke Maumere namun dirinya justru tersedot. “Siapa Pak Firman, Cup?”
Ucup menoleh. “Aaah! Kakak! Jangan suka pegang-pegang tanpa aba-aba begitu!”
“Siapa dia?” tuntut Atha.
Ucup menimbang-nimbang. “Nanti lah baru saya cerita.”
“Kenapa tidak cerita sekarang saja?”
Ucup menoleh, menatap wajah kakaknya lekat-lekat. “Dia pegawai baru di kantor, baru dimutasi dari kecamatan ke kabupaten. Tingkahnya sedikit aneh.”
“Aneh bagaimana?”
“Sering bicara sendiri. Kadang dia geleng-geleng kepala tanpa sebab. Pokoknya aneh lah, Kak!” Ucup membayangkan wajah brewokan Pak Firman. “Sebelum liburan Natal kemarin dia minta ketemu Kakak.”
“Terus ...?”
Ucup memonyongkan bibir. “Tuh ... macamnya tamu Kakak sudah datang.” Mata Ucup menangkap sosok perempuan berhijab warna merah muda mendekati X-Trail. Dia tidak menyesal telah sekian lama menunggu.
“Ah ...” desah Atha, masih ingin mendengar cerita Ucup.
Subhanallah, cantiknya ...” seru Ucup. Wajahnya berseri-seri.
“Pikir yang positif, Cup. Sudah punya suami.”
Mata Ucup terbeliak. “Semuda itu?” dia menebak usia perempuan berhijab warna merah muda itu setidaknya berusia duapuluh tahun.
“Semuda itu dia juga harus terima perlakuan tidak adil dari suaminya.”
Such as? Dianiaya?”
“Suaminya gay.”
Gay. Gay itu ...”
“Laki doyan laki.”
“Ya saya tahu, Kak. Tapi ...”
Atha membuka pintu mobil. “Halo, Wati. Ayo, masuk.”
Perlahan X-Trail membelah Jalan Ahmad Yani menuju barat. Ucup mengemudi dengan pikiran dipenuhi pertanyaan.
Kalau gay, kenapa dulu menikahi perempuan cantik ini? Untuk tujuan apa?



***
Bersambung.


Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak