Antara PPKM, Nyekar, dan Pantai Marapokot

 


Ceritanya, dua Jum'at lalu saya dan Indah escape dari rutinitas. Tujuan kami sudah pasti Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo. Jujur, Kabupaten Nagekeo itu macam magnet. Kekuatan tarikannya terlampau kuat sehingga sulit untuk tidak mengarahkan pikiran ke sana. Sesungguhnya maksud saya ke Kota Mbay adalah nyekar ke makam Mamanya Noviea Azizah a.k.a. Nopi. Satu minggu saya menunggu waktu berjalan. Seminggu saya terus dikejar janji sendiri untuk nyekar. Alhamdulillah si Indah turut serta. Setidaknya bahu kanan saya agak terselamatkan (frozen shoulder). Kalau terlalu lama mengendarai sepeda motor, nyeri sekali rasanya.

Kami tahu sedang diberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) atau dikenal dengan Community Activities Restrictions Enforcement. PPKM adalah kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2021 untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebelum pelaksanaan PPKM, pemerintah telah melaksanakan pembatasan sosial berskala besar yang berlangsung di sejumlah wilayah di Indonesia. Perginya kami ke Kota Mbay bukan berarti melawan kebijakan pemerintah. Namanya roda kehidupan, harus terus berjalan. Saya tidak mungkin menunggu lebih lama lagi untuk nyekar. Terlalu banyak janji saya untuk Mamanya Nopi yang belum terlunaskan. Saya harus meminta maaf, tidak saja melalui do'a. Hari itu, lepas sholat Jum'at, kami ngegas ke arah Barat Kota Ende.

Seperti biasa, istirahat sejenak di Aigela, lantas melanjutkan perjalanan menuju Kota Mbay.

Suasana Kota Mbay tidak berubah. Kalau sepi, ya jangan dibandingkan dengan Kota Ende. Karena sudah sore banget, jadwal nyekar dipindah keesokan hari. Sabtu.


Semalaman mengobrol dengan Indah sampai pagi pukul 03.30 WITA. Malam rasanya sangat panjang karena sepi dan saya sendiri tidak membawa laptop. Antrian pekerjaan memang masih ada. Tapi escape ini menyenangkan karena bebas dari permintaan ini itu penghuni rumah hahaha. Paginya tentu tidak bisa bangun sementara Nopi harus ke rumah sakit mengambil surat keterangan kematian Mama. Saya dan Indah akhirnya diantar Ichal. Tiba di area pemakaman, perasaan saya hancur. Melihat gundukan tanah itu ... aduh, Mama. Maafkan saya, Mama. Banyak janji yang belum bisa saya tepati tapi Mama sudah pergi. Sakitnya menancap terlalu kuat. Menangis adalah cara manusia melepaskan perasaannya.

Dari makam Mama kami pamit pada Ichal. Ya, sudah ada rencana lain, termasuk melunasi pekerjaan. Tapi dalam perjalanan pulang, kami bertemu Abang dan Gafur a.k.a. Awan. Kadang-kadang saya ingin menuding cara kerja semesta yang begitu itu. Keputusannya: tidak jadi pulang, mencari warnet untuk bekerja, dan kembali ke rumah Nopi. Mungkin Ichal ngakak sejadi-jadinya.


Sorenya, kami pergi ke Pantai Marapokot. Si Kahar sudah duluan di sana bersama isteri dan keluarga besar kakaknya (yang menetap di Mbay). Tak luput si Wardah. Sepanjang jalan dari Kota Mbay menuju Pantai Marapokot, pemandangan yang tersaji adalah persawahan. Ternyata asyik sekali liburan tipis-tipis macam begini. Karena sudah sore, kerjaan kami ya menunggu senja. Sayangnya, tidak punya baju bersih lagi, sehingga saya dan Indah menahan keinginan untuk ikutan cebur ke laut. Rugi bandar! Tapi, ya sudahlah. Masih ada lain waktu.

Setelah Kahar sekeluarga pamit, kami masih bertahan di Pantai Marapokot hingga malam menjelang.


Apa yang kurang? Kopi! Saya selalu punya mimpi duduk mengaso di pantai, atau di perbukitan di Kabupaten Nagekeo, sambil ngopi. Tak lupa diskusi-diskusi hangat. Merangkak malam, bulan merah jambu naik dari cakrawala. Indahnya. Rasanya cukup kami yang rasakan.

Hasil jepretan Awan.

Malam semakin larut. Kami pun pulang.

Bagi saya perjalanan itu patut dimaknai. Bukan saja karena pola kerja semesta yang misterius, tapi karena pada akhirnya saya belajar banyak hal. Perjalanan memang singkat, tapi perjalanan selalu mengajarkan pada saya pelajaran-pelajaran baru. Covid-19 memang membelenggu, tapi bukan berarti kita mengalah. Bepergian bukan karena ingin melawan peraturan pemerintah, tapi jika itu suatu kebutuhan mendesak, terpaksa harus dilakoni. Yang penting tetap mematuhi protokol kesehatan. Satu lagi; terkadang keindahan dapat kita nikmati dari jarak yang jauh. Terlalu dekat, malah tidak bisa menikmati apa pun.

Bagi kalian semua, tetap jaga kesehatan, ya! Jangan lupa bahagia. Salah satunya dengan mensyukuri nikmat yang telah Allah SWT berikan: hidup.


Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak