Mengetahui Peristiwa Masa Lampau Melalui Patung Kuda

 

Patung Kuda di Simpang 4 (Kelimutu Atas dan Bawah-Patimura-Diponegoro).

*Draf tulisan ini sudah lama ngetem, baru sekarang saya tuntaskan.


Mengetahui Peristiwa Masa Lampau Melalui Patung Kuda. Hewan merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang acap digunakan untuk melambangkan atau mewakili citra suatu klan, suatu daerah, bahkan suatu negara. Kota Surabaya dilambangkan dengan Patung Sura dan Baya. Sura (ikan hiu) dan baya (buaya) merupakan dua hewan yang menginspirasi nama Ibu Kota Provinsi Jawa Timur itu. Provinsi Lampung terkenal akan gajah Sumatera yang dilindungi di Taman Nasional Way Kambas. Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur juga punya satu hewan khas yaitu komodo. Dari negara seperti China kita mengenal naga sebagai lambang atau semangat keberanian: gagah dan berani. Dan di dunia ini, negara yang menggunakan naga pada bendera mereka adalah Bhutan dan Negara Bagian Wales, Inggris.


Baca Juga: Kehadiran Alfamart Merupakan Pecut Bagi Pedagang di Kota Ende


Bagaimana dengan kuda? Kuda ada hampir di setiap negara karena hewan ini utamanya merupakan kebutuhan transportasi. Seperti kata Wikipedia: Kuda adalah salah satu dari sepuluh spesies modern mamalia dari genus Equus. Hewan ini telah lama merupakan salah satu hewan peliharaan yang penting secara ekonomis dan historis, dan telah memegang peranan penting dalam pengangkutan orang dan barang selama ribuan tahun. Bayangkan saja perdagangan antar negara sedaratan/se-benua pada masa lampau, kalau tidak ada kuda, susah juga. Paling sering kita melihat di dalam filem-filem kesayangan, kuda digunakan sebagai tunggangan pasukan perang-elit, yang diikuti oleh pasukan pejalan kaki. Dalam The Lord of the Ring, Gandalf memilih kuda Shadowfax. Dalam Mulan, Mulan memiliki kuda bernama Khan (nama yang cukup kontroversial, sebenarnya). Kembali ke dunia nyata, sampai sekarang Kerajaan Inggris masih mengandalkan kuda (kereta kuda) untuk acara-acara tertentu. 


Bersama salah seorang peserta Pasola. 2015.


Pulau Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan pulau yang terkenal akan kuda Sandelwood. Dalam perjalanan saya di Pulau Sumba, pernah melihat orang naik kuda di jalan raya di Kota Waikabubak di Provinsi Sumba Barat, bersanding dengan kendaraan bermotor. Saya juga menyaksikan sendiri acara budaya/adat: Pasola. Dan tentu, saya harus berfoto di Patung Kuda di Kota Waingapu yang merupakan Ibu Kota Provinsi Sumba Timur.


Patung Kuda di Kota Waingapu. 2015.


Tapi seperti yang sudah tulis di atas, kuda ada hampir di setiap negara, kuda ada hampir di setiap wilayah di Indonesia. Peristiwa masa lampau yang berhubungan erat dengan kuda ini, kemudian diabadikan melalui patung-patung kuda. Kota Waingapu punya Patung Kuda, Kota Jakarta punya Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Kota Purwokerto punya Monumen Jenderal Gatot Subroto (yang sedang menunggang kuda), Kota Manado punya Patung Kuda Paal Dua, Kota Wates di Kulonprogo punya Patung Nyi Ageng Serang (yang sedang menunggang kuda dan memegang tombak), Magelang punya Patung Pangeran Diponegoro (yang sedang menunggang kuda sambil tangannya sedang menunjuk), bahkan Maros punya Patung Kuda Maros atau Patung Tubarania Maros.


Bagaimana dengan Kota Ende?


Awal tahun 2021 saya melihat sebuah patung kuda di simpang 4 (empat) antara Jalan Kelimutu (atas), Jalan Kelimutu (bawah), Jalan Patimura, Jalan Diponegoro. Singkatnya oleh kami simpang ini disebut Simpang Apollo karena sejak dulu ada sebuah toko bernama Apollo di salah satu sudutnya. Dalam hati saya bertanya-tanya: mengapa pemerintah Kabupaten Ende membangun patung kuda ini? Ah, mungkin tujuannya hanya untuk mempercantik kota saja. Dan perdebatan di media sosial pun bergaung keras. Seperti umumnya, ada yang pro, ada yang kontra. Yang pro mengatakan bahwa patung kuda itu bagus dibangun untuk mempercantik kota. Yang kontra mengatakan bahwa patung kuda dibangun di Kota Ende(?), apakah tidak salah? Kalau patung kuda dibangun di Pulau Sumba ... wajar ... karena Pulau Sumba memang terkenal dengan kuda.


Bagaimana dengan saya?

Jujur saya masih berpikir dulu, karena segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah pasti ada alasannya. 


Saya kemudian teringat pada sebuah momen ketika membikin video untuk lomba tentang HaKI oleh kementrian. Saat itu saya sangat beruntung karena dapat melihat semua koleksi sarung tenun ikat milik Ibu Yulita Londa, S.E., M.Si., Akt. Mulai dari lawo (sarung tenun ikat) Lepa, lawo Pundi, lawo Luka, dan lain sebagainya. Salah satunya bernama lawo Jara (kuda). Iya, sarung tenun ikat itu bermotif kuda yang ditunggangi atau orang naik kuda. Menurut Ibu Yulita, kalau ada orang yang memakai lawo Jara, sudah pasti dia orang Nggela karena lawo Jara memang hanya ditenun oleh orang dari daerah Nggela. Menurut sepemahaman saya, artinya ada kaitan erat antara kuda dengan masyarakat Nggela sehingga sampai dijadikan motif sarung tenun ikat. Tapi hal itu tidak segera menuntaskan dahaga saya akan pertanyaan: mengapa pemerintah Kabupaten Ende membangun patung kuda ini?


Asyik juga melihat perdebatan yang ada di media sosial, karena dari situ kemudian saya memperoleh informasi penting salah satu alasan dibangunnya patung kuda di Simpang Apollo. Informasi ini memang tidak bersumber langsung dari pemerintah, melainkan dari masyarakat itu sendiri. Mari kita cek informasinya.


Komentar pada status Facebook Kak Ucep Rago.


Dari komentar di atas, saya jadi tahu bahwa di Kota Ende pada masa lampau terjadi peristiwa balapan kuda yang dilakukan di Jalan Kelimutu dan pernah di Jalan El Tari.


Noted.


Lalu, saya menemukan penjelasan lain yang mirip seperti yang berikut ini (sayangnya saya tidak sempat menyimpan tautannya, jadi cuma hasil screenshoot):




Karena terbagi dua, jadi saya tulis ulang isi status Facebook tersebut:

IKON "JARA WOLO" DI SIMPANG APOLLO KOTA ENDE

Mengenang kembali olahraga pacuan kuda tradisional "Paru Papa Ndore Jara" Pertama Di Flores Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda yang diselenggarakan di Ende. Yang juga adalah salah satu "Turnamen Politik Masa Itu Antara Masyarakat Lokal Dan Kolonial Belanda Di Flores". Turnamen pacuan kuda mendatangkan banyak penonton masyarakat lokal, sehingga Belanda mencatat poin sensus penduduk secara gelap. Turnamen ini tidak kalah pentingnya bagi masyarakat lokal sehingga mengenal banyak tentang pemerintahan Belanda dan kekuatan-kekuatan Batalionnya. Turnamen ini diselenggarakan sejak jauh sebelum pertempuran Marilonga dan Baranuri hingga usai masa penjajahan Jepang. Sejarah melukis tentang turnamen pacuan kuda pada masa Penjajahan Jepang ("Bani Ata Nipon") yang salah satunya membawa tradisi judi-judian di Ende dan Flores umumnya. Selain itu Bani Nipon juga banyak menekan kekerasan psikologi. Banyak anak-anak gadis lokal yang diperkosa sehingga masih dalam usia muda gadis-gadis lokal sudah bertatto guna untuk melindungi diri dari perhatian tentara Jepang. Perjudian sangat marak berkembang ke masyarakat seperti dadu dan domino. Dengan berjudi masyarakat lokal dengan mudah dibodohi. Salah satunya adalah perampasan tanah dengan delik kalah judi.

Saya tidak mengenal siapa pemilik akun ini, tapi penjelasannya sangat masuk akal. 


Jadi, patung kuda itu dibangun berdasarkan peristiwa masa lampau. Gara-gara patung kuda itu, saya jadi tahu tentang balapan kuda yang dilaksanakan oleh Kolonial pada masa itu. Ini benar-benar seperti granat meledak di otak saya. Hehe. Kalau tidak ada perdebatan di media sosial, belum tentu saya tahu tentang balapan kuda zaman penjajahan dulu. Tapi yang perlu dicatat: semua informasi ini saya peroleh dari media sosial, bukan dari pemerintah, jadi tunggu saja informasi selanjutnya. Insha Allah ada informasi lebih jelas/langsung dari pemerintah tentang si patung kuda.


Baca Juga: Ternyata Bisa Juga Saya Membikin Video Tutorial Blogging


Sedangkan Patung Marilonga dan Patung Baranuri merupakan patung pahlawan lokal yang menjadi ikon pintu masuk Kota Ende dari arah Timur dan arah Barat



Dengan demikian, tuntas sudah tulisan saya tentang Patung Kuda yang satu ini. Kalau siang hari dia nampak berwarna putih (besi/rangkanya) sedangkan malam hari akan terlihat cahaya warna-warni dari rangka/tubuhnya. Menarik. Menambah warna di Kota Ende. Sayangnya, karena simpang empat lokasi si Patung Kuda merupakan jalur ramai, saya belum sempat berpose di depannya! Hhahaha.


Semoga bermanfaat.


Cheers.

1 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Patung kudanya keren banget mbak Tuteh, bisa terlihat transparan gitu ya? Desainer nya pasti orang yang memiliki jiwa seni yang tinggi.

    BTW apa kabarnya mbak Tuteh, lama kita tak saling berkomunikasi, hehehe...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak