Bangkit Dari Cengkeraman Covid-19

 


*Membuka tulisan sambil mendengarkan Tequila, cover by Music Travel Love (Dan & Shay).


Malam Minggu. Berbeda dari malam Minggu lainnya, saya keluar kandang. Perkara keluar kandang ini tidak terlepas dari seorang perempuan cantik bernama Indri. Teman binti teman. Saya mengajaknya nongkrong di street food center (saya menyebutnya begitu) di Jalan Soekarno, Kota Ende, setelah Sabtu pagi mengajaknya ke Desa Randotonda untuk meliput kegiatan pengolahan kripik singkong oleh Tim Program Pengembangan Desa Mitra Universitas Flores (Uniflor). Karena malam Minggu, street food center penuh pengunjung. Tempat favorit di depan jagung bakar Om Manto dan gerobak es rainbow tidak menyisakan ruang barang satu senti pun pada kami. Tidak mau kalah cepat dari pengunjung lain, kami nongkrong cantik di depan gerobak Siomay Suko Wati yang menempati area tengah street food center.


Siomay, jagung bakar, es rainbow. Sudah cukup menambal perut meskipun tampilan kebab dari gerobak tetangga cukup menggoda iman.


Baca Juga: Saya Kembali Karena Neraka Semakin Sesak


"Saya baru tiga bulan, Mbak, di sini," ujar Narni. Perempuan cantik asal Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Narni dan suaminya, Suhardi, adalah perantau asal Pulau Jawa yang sebelumnya selama 24 (dua puluh empat) tahun menetap di Pulau Bali. Wajah ceria pasangan suami isteri ini berbanding terbalik dengan kisah hidup mereka saat (bahkan sebelum) Covid-19 mulai merayapi Indonesia. "Bali sepiiiii, Mbak!" seru Narni sambil membersihkan piring.


Satu setengah tahun sebelum tahun 2020, Suhardi mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kelumpuhan pada sekujur tubuhnya. Guncangan sedikit saja memicu rasa sakit yang luar biasa. Praktis, kelumpuhan Suhardi menjadi titik di mana Narni harus berjuang sendiri mengais rejeki untuk menopang perekonomian keluarga. Berbagai macam pengobatan telah dicoba, namum masih jauh kesembuhan yang diharapkan oleh mereka. Suhardi masih saja sulit menggerakkan anggota tubuhnya. Jika berjalan tangan Suhardi bergerak seperti robot dengan kaki diseret-paksa. Tapi, Allah SWT memang selalu memberi jalan bagi umatNya yang selalu berikhtiar dan berdoa. Alhamdulillah, berkat pengobatan tradisional, Suhardi sembuh total dari kelumpuhan. Satu sayap keluarga mereka yang cidera telah kembali sehat.


Pandemi Covid-19 yang awal 2020 merayapi Indonesia, mulai bertingkah, mencengkeram setiap jengkal yang dirayapinya dan enggan melepaskan cengkeramannya itu. Baru tiga bulan Suhardi sembuh dan beraktivitas seperti semula, keluarga mereka berhadapan dengan virus mematikan ini.


"Kalau suami saya sakit, saya masih bisa bekerja, mencari uang. Tapi kalau Covid-19 ... saya menyerah, Mbak. Ndak bisa berbuat apa-apa."


Baca Juga: Sejuta Pesona Desa Detusoko Barat


Perekonomian Suhardi dan Narni menjadi lebih kacau. Waktu berdagang dibatasi. Kalaupun berdagang, tidak seramai biasanya. Pariwisata di Pulau Bali yang lumpuh, turut melumpuhkan lini lainnya. Bantuan dari pemerintah tidak kunjung datang. Gigit jari? Iya! Suhari dan Narni gigit jari. Putar otak, mereka harus hijrah. Tidak bisa tidak. Jika peluang di Pulau Bali sudah sesempit itu bagi perekonomian keluarga, mereka harus berani melangkah ke 'hutan belukar'. Pasangan suami isteri ini kemudian datang ke Pulau Flores, tepatnya di Kota Ende. Tentu, ada sanak keluarga yang sudah lebih dulu merantau ke Kota Pancasila ini.


"Saya dulunya ndak jualan siomay, Mbak. Ini baru aja jualan siomay pas pindah ke sini," tutur Narni sambil menata siomay ke dalam piring. Indri terkejut. Saya ... lebih lagi. Ini namanya act by accident. Ha ha ha. "Soalnya jualan parfum isi ulang kurang laku."




Gerobak siomay Suko Wati menempati area tengah street food center Ende. Di sini lah Suhardi dan Narni kembali menggantungkan mimpi-mimpi mereka melalui Rp 15.000/porsi siomay. Mereka bukan satu-satunya 'pelarian' dari Pulau Bali. "Itu yang sana, Mbak, yang jualan burger ... itu juga dari Bali," kata Narni. Dan sepertinya saya pernah mencicip burger yang ditunjuk Narni itu. Semakin larut, obrolan semakin seru. Tapi kami harus pamit karena harus diakui kami lelah. Dan saya masih punya hutang berita kegiatan di Desa Randotonda.

Apa yang saya pelajari hari ini dari Suhardi dan Narni?

Selalu ada jalan bagi orang-orang yang berusaha. Keluarlah. Keluar dari kandang agar lebih banyak pengalaman dan cerita dalam hidup ini. Hijrahlah. Hijrah ke hutan belantara agar kalian tahu seperti apa kehidupan di dalam hutan belantara itu.

Terima kasih Indri, teman baru yang asyik, karena seumuran! Ha ha ha. Gara-gara Indri, malam Minggu saya jadi lebih bermakna. Belajar dari Suhardi dan Narni, jangan pernah berhenti berdoa dan berikhtiar! Allah SWT tidak tidur. Allah SWT punya rencana indah untuk setiap umatNya. Dan, Bangkit dari Cengkeraman Covid-19 merupakan judul yang tepat untuk tulisan ini. Sepertinya saya harus menutup tulisan ini dengan lagu milik Des'ree. Life!

Lifeeee ... doo doo doo doo

I'm a superstitious girl,
I'm the worst in the world
Never walk under ladders,
I keep a rabbit's tail
I'll take you up on a dare,
Anytime, anywhere
Name the place, I'll be there,
Bungee jumping, I don't care!


Cheers!

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak