Lebih Baik Berhenti Bekerja Dari Pada Quiet Quitting

 


Pandemi COVID-19 berdampak pada semua aspek kehidupan manusia. Para pekerja di Indonesia sangat kuatir akan kehilangan pekerjaan karena perampingan tenaga kerja dan/atau pemecatan, sedangkan para pekerja di Amerika justru ramai-ramai berhenti bekerja. Menukil dari Techtarget, selama apa yang dikenal sebagai pengunduran diri besar-besaran, 71,6 juta orang meninggalkan pekerjaan mereka dari April 2021 hingga April 2022, yang rata-rata 3,98 juta orang berhenti setiap bulan, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Pada Juni 2022, jumlah orang yang berhenti mencapai 4,2 juta.

Apakah kalian sudah baca Menilik Mens Rea Dan Actus Reus?

Kita lebih mengenal istilah pengunduran diri besar-besaran dengan the great resignation

Para pekerja, apa pun jenis pekerjaan dan jabatannya, pasti telah memikirkan dengan matang untuk mengundurkan diri dari aktivitas harian demi upah (harian, mingguan, bulanan). Setidaknya, ada alternatif pekerjaan lain yang sangat mereka suka dengan upah yang jauh lebih tinggi. Menurut hemat saya, Pandemi COVID-19 memberikan daya ungkit berbeda pada sebagian orang. Dengan work from home, misalnya, kreativitas sebagian orang terasah dengan sendirinya. Kreativitas tersebut disadari ternyata lebih menghasilkan ketimbang mereka harus bekerja untuk orang lain/atasan. Dan asyiknya, mereka dapat melakukannya di mana saja, terutama di rumah, bersama anggota keluarga.

Bagi sebagian orang lagi, mengundurkan diri dan/atau berhenti bekerja adalah pilihan buruk. Siapa yang akan membayar biaya listrik, air, data seluler, hingga kebutuhan makan dan minum di rumah?

Lalu muncul sebuah video di Tiktok. Menukil BBC, Since the pandemic, an increasing number of young workers have grown tired of not getting the recognition and compensation for putting in extra hours. They're saying no to burnout, and instead focusing on work-life balance. The movement is centred around self-preservation and "acting your wage".

The term "quiet quitting" has taken off recently after American TikTokker @zaidlepplin posted a video on it that went viral, saying "work is not your life".

Quiet quitting. Istilah yang dikemukakan oleh Zaidlepplin tersebut mengungkap fenomena para pekerja yang hanya bekerja di tempat kerja dan hanya pada jam kerja. Di luar tempat kerja dan di luar jam kerja, mereka tidak punya ikatan apa-apa dengan pekerjaannya. Bekerja ekstra untuk perusahaan bukan pilihan quiet quitter. Jadi, quiet quitting bukan bermakna seorang pekerja berhenti diam-diam dari pekerjaannya, melainkan seorang pekerja tidak mau melakukan pekerjaan ekstra untuk perusahaan/tempat kerjanya (di luar tempat kerja dan jam kerja). Sebagian orang sependapat dengan quiet quitting, tapi sebagaian lagi tidak. Termasuk saya. 

Dulu saya bekerja di sebuah perusahaan yang menggunakan sistem jam kerja bergantian atau shift (sesuai jumlah jam kerja). Teman laki-laki paling senang setiap setelah satu kali shift malam (kalau tidak salah) karena dipastikan mereka libur sebelum kembali dengan shift pagi. Tapi, pada saat-saat tertentu, mereka akan membantu saya di shift pagi ketika saya membantu teman yang shift siang (biasanya si teman izin ada kegiatan keluarga). Apa yang dapat kita petik dari cerita ini? Tenggang rasa. Suatu budaya orang Indonesia yang sulit ditanggalkan karena kita adalah manusia yang homo homini socius.

Berangkat dari situ, ada tanggung jawab moral setiap pekerja pada pekerjaannya. Tanggung jawab moral yang melekat pada diri setiap pekerja 1x24 jam.

Kalau dipikir-pikir, tidak ada seorang pun yang suka bekerja. Kalau bisa tanpa bekerja, uang datang dengan sendirinya. Tapi rasionalnya, kalau tidak bekerja, dari mana memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan hidup? Warisan? Boleh, selama warisan tersebut memang sangat banyak dan bisa dikelola dengan baik. Bekerja adalah satu-satunya cara agar kita bermanfaat karena dengan bekerja kita pun berkarya.

Oleh karena itu banyak orang bilang: cintai pekerjaanmu. Atau, jadikan pekerjaan sebagai hobi. Mau tidak mau harus begitu. Berdamai dengan diri sendiri dan pekerjaan. Saya tidak bilang paling berdedikasi dalam pekerjaan. Tapi, kapan pun atasan membutuhkan dan masih bisa saya tangani, akan saya laksanakan meskipun di luar jam kerja. Kontak saya, terkhusus WA, selalu aktif karena yakin pada saat-saat tertentu saya dibutuhkan oleh atasan. It's fine. Toh tidak setiap hari saya harus bekerja ekstra. Toh ada hari-hari di mana saya juga terkadang korupsi jam kerja 😂

Lebih baik berhenti bekerja dari pada quiet quitting.

Karena quiet quitting itu ibarat hidup enggan mati tak mau. Untuk apa bertahan pada pekerjaan yang tidak kalian cintai? Berhenti saja, cari pekerjaan lain yang sesuai keinginan, dan bekerjalah dengan sungguh-sungguh karena hasil tidak mengkhianati usaha. Kalau tidak ada pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, ciptakan lapangan kerja baru dan/atau bangunlah usaha yang sesuai dengan keinginan. Menjadi quiet quitter itu ibarat musuh dalam selimut.

Bravo, Perpus Pusat Uniflor Dukung Masyarakat Pembaca Buku.

Apa konklusi dari artikel ini sebenarnya?

Mari bekerja, karena bekerja sama dengan berkarya. Bekerja ekstra tidak sama dengan mencari muka, tapi bekerja ekstra adalah cara untuk menjaga perusahaan sebagai sawah/ladang kita. Jangan kuatir, dalam satu tahun ada masa dua belas hari bagi kita, para pekerja, untuk cuti. Manfaatkan waktu cuti untuk menyegarkan pikiran dan perasaan. Jangan pernah menyamakan diri kita dengan orang lain. Orang Amerika misalnya, mengundurkan diri dari pekerjaan, tapi mereka punya alternatif pekerjaan lain. Sedangkan kita, orang Indonesia yang rata-rata terbatas dalam hal SDM, harus bisa mengenali diri dan menghargai pekerjaan.

Mudah-mudahan bermanfaat.


Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak