Merawat Budaya Bersama Uniflor Sebagai Mediator Budaya


Merawat Budaya Bersama Uniflor Sebagai Mediator Budaya. Visi Universitas Flores (Uniflor) adalah menjadi mediator budaya. Artinya, sebagai rahim persemaian calon cendekia, Uniflor tidak hanya fokus pada dunia akademik yang mengutamakan Tri Dharma Perguruan Tinggi tetapi juga pada budaya/adat/tradisi. Semua orang tentu tahu bahwa kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencangkup pengetahuan, keyakinan, seni, hukum adat dan setiap kecakapan, dan kebiasaan. Salah satu kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan dan adat yang dilakukan setiap tahun oleh Uniflor adalah Pati Ka Embu Kajo di Tubu Nabe Uniflor. Memberi makan leluhur ini dipimpin oleh empat Mosalaki Godo Wutu Onekore Hendrikus Peso, Daniel Juma, Johanes D. Bosco Wajo, Yakobus Djae (April 2019), dan dilakukan secara bersama-sama dengan para petinggi Uniflor.

Baca Juga: Jangan Biarkan Anak-Anak Kecanduan Telepon Genggam

Foto-foto kegiatan Pati Ka Embu Kajo di Tubu Nabe dapat dilihat berikut ini:



Pada Kamis, 27 Februari 2020, dilaksanakan kegiatan pelantikan 83 (delapan puluh tiga) pejabat struktural se-lingkup Uniflor. Ada yang berbeda dari kegiatan tersebut. Selain setiap orang (dosen, karyawan, dan pendamping pejabat yang dilantik) diwajibkan memakai pakaian adat (dari daerah mana pun), juga ada ritual meminum moke dan penyerahan sirih kepada pejabat yang dilantik. Melihat proses meminum moke, maka mungkin kata yang lebih tepat adalah mencicip moke. Kegiatan tersebut unik, menurut saya, karena semakin menunjukkan Uniflor sebagai mediator budaya yang merawat budaya.

Ulasan lengkapnya, silahkan baca sampai selesai. Haha.

Panggung Dengan Miniatur Rumah Adat


Panggung Auditorium H. J. Gadi Djou di Kampus I Uniflor disulap sedemikian rupa sehingga nuansa adatnya lebih kental terasa. Biasanya backdrop panggung berupa baliho dengan tambahan ornamen daerah tertentu. Tetapi pada kegiatan dimaksud, sebuah miniatur rumah adat berdiri gagah di tengah panggung. Di dalam miniatur rumah adat tanpa dinding itu diletakkan dua kursi sebagai tempat rehat Ketua Yapertif dan Rektor Uniflor saat jeda pelantikan.


Jujur, saya suka sekali melihat panggungnya. Tetapi hari itu saya tidak sempat foto-foto di situ karena lelah. Byuuuh. Haha. Iya, lari sana-sini mengabadikan momen dan mengumpulkan footage berita memang menyedot cukup banyak enerji. Kaki saya sakit, gengs. Harus segera pulang untuk merawat diri *dicibirin dinosaurus*.

Mencicip Moke dan Menerima Sirih


Moke merupakan minuman adat. Sejatinya begitu. Saat keluarga kami menyambangi makam nenek moyang di Desa Faipanda pun, kakak lelaki saya wajib mencicipnya walaupun seujung lidah (seharusnya meminum satu sloki yang diserahkan oleh tua keluarga). Sampai moke kemudian berkonotasi buruk adalah karena oknum-oknum tertentu yang meminumnya sekehendak hati sehingga berakibat pada hilangnya kontrol diri. Keributan bisa dipicu oleh oknum-oknum mabuk ini. Konon, kalau sudah berlebihan menegak moke, keberanian bakal meledak-ledak, bawaannya selalu benar dalam berkata, dan lain sebagainya.

Bapak Willy Lanamana mencicip moke usai pelantikan.

Setiap pejabat struktural, usai dilantik, khusus laki-laki diberikan moke dalam wadah cangkir/gelas tempurung. Khusus perempuan diberikan satu sirih. Saya termasuk orang yang sampai saat ini belum bisa mengunyah sirih-pinang-kapur. Sekali mencoba, langsung mabuk/pusing, belum mencoba lagi. Suatu saat saya harus bisa mengunyah sirih-pinang-kapur. Insha Allah.

Pakaian Adat dan Uniflor


Pati Ka Embu Kajo, dan kegiatan pelantikan pejabat struktural kemarin, hanya sebagian kecil contoh dari Uniflor sebagai mediator budaya yang tentunya turut merawat budaya. Setiap minggu kami, dosen dan karyawan Uniflor, selalu berhubungan dengan budaya. Setiap Hari Selasa, kami wajib memakai sarung tenun ikat Kabupaten Ende dengan atasan berwarna putih. Sedangkan setiap Hari Kamis, kami wajib mengaplikasikan kain daerah dari daerah mana pun di Indonesia dengan pakaian yang dikenakan. Rata-rata memakai tenun ikat, satu dua memakai batik. Ada yang melilitkan tenun ikat berbentuk selendang di pinggang, ada yang dijadikan syal, ada juga yang menjadikan sarung tenun ikat sebagai rok, dan lain sebagainya.

Dalam kegiatan-kegiata besar seperti wisuda, upacara 17an, hingga pelantikan-pelantikan, segenap civitas akademika Uniflor wajib memakai pakaian adat.


Baca Juga: Mampukah Rembi Menggantikan Peran Tas Belanjaan Plastik?

Uniflor adalah mediator budaya yang tentunya merawat budaya agar generasi selanjutnya tetap tahu jati diri mereka. Tetapi siapa pun dapat merawat budaya. Caranya, Teh? Banyak sih. Dengan memakai pakaian adat saat ke pesta-pesta, menulis tentang kekayaan budaya kita, membikin video ini itu yang berkaitan dengan budaya/adat/tradisi, sampai melakukan penelitian dan membukukannya. Yang jelas, di Kabupaten Ende, salah satu budaya yang terus dirawat oleh semua kalangan adalah tarian gawi. Hehe. Anyhoo riset kecil-kecilan saya soal gawi dan/atau naro ini belum selesai. Belum bisa saya tulis secara lengkap. Belum bisa dipublis. Nanti deh.

Semoga bermanfaat ;)

#SeninCerita
#CeritaTuteh



Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak