Sebuah Seni Untuk Melepaskan Sesuatu Yang Bukan Milik Kita


Sebuah Seni Untuk Melepaskan Sesuatu Yang Bukan Milik Kita. Sebagai manusia, kita seringkali dihinggapi rasa marah akibat kehilangan sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa benda mati, dapat pula berupa benda hidup. Kita bisa saja dilanda amarah besar karena kehilangan alat tulis, atau sepotong pizza di kulkas. Kita bisa saja mengamuk karena bunga kesayangan digondol maling berikut wadahnya yang berharga ratusan ribu. Dan, kita juga bisa murka ketika kehilangan seseorang baik itu yang berhubungan darah maupun yang berhubungan emosi. Saya pernah murka pada diri sendiri karena tidak berada di Kota Ende ketika Allah SWT memanggil Bapa pulang ke surga. Saya juga pernah mengamuk pada anak badung yang melewati jalan depan rumah sambil sengaja merepetisi tarikan gas sepeda motor sehingga menimbulkan suara knalpot racing yang memekakkan kuping. Semua murka, amuk, amarah, adalah lumrah sebab kita hanyalah manusia.

Baca Juga: 5 Perkara Yang Saya Sadari Tentang Sebuah Hubungan

Menulis kata 'manusia' berarti menulis tentang diri saya sendiri, dia, kalian, mereka. Kita. Manusia-manusia penghuni alam raya. Makhluk ciptaanNya yang dilengkapi dengan akal dan perasaan. Bahkan, in case you forget about this, Allah SWT dengan penuh kasih sayang menciptakan manusia dan kita mengenalNya sebagai Maha yang penuh kasih sayang. QS Al Fatihah : 1 berkata "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang". Dan sudah seharusnya manusia saling mengasihi dan menyayangi dalam konteks universal. Dalam konteks privat, mengasihi dan menyayangi, akibat dari anugerah 'perasaan' itu, tercipta ketika ada percikan listrik. Antara seorang lelaki dengan seorang perempuan, tentu saja umumnya begitu. Tapi janganlah menutup mata bahwa konteks privat kasih sayang ini juga terjadi antara lelaki dengan lekaki, antara perempuan dengan perempuan. Gay. Lesbi. Lesbi, bukan let's be. Hehe.

Ketika lelaki dan perempuan, ambilah contoh yang umum, saling mengasihi dan menyayangi, atau saling cinta, ada desakan untuk harus memiliki. Apakah hanya saya saja yang berpikir begini atau kalian juga? Komen di bawah. Harus memiliki ini kemudian menjadi motivasi untuk berusaha melakukan yang terbaik bagi pasangan. Yang terbaik, dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah menjadi diri sendiri. Cara kedua adalah menjadi seperti yang diinginkan oleh pasangan. Tentu kalian sudah bisa menebak cara mana yang paling ampuh dan bertahan selamanya.  

Menjadi diri sendiri untuk membahagiakan pasangan, meskipun terasa sedikit pahit, memang paling mujarab untuk sebuah hubungan. Tidak ada manusia yang ingin terus-terusan bermain opera di hadapan pasangannya. I guess. Seperti para pelakon di panggung, capek itu pasti. Belum lagi dosa. Maka bermain aman melalui kejujuran, menurut saya, mutlak dilakukan. Kejujuran pasangan pada awal suatu hubungan mungkin tidak dilakukan atau dialami oleh semua orang. Bisa jadi kejujuran seorang lelaki akan membikin seorang perempuan syok. Demikian pula sebaliknya. Tapi percayalah, kejujuran pasti selalu bisa diterima karena masih banyak manusia yang sangat menghargai sebuah kejujuran.

Menjadi seperti yang diinginkan oleh pasangan, meskipun manis, bukanlah sesuatu permulaan yang baik. Setidaknya menurut saya begitu. Karena, pasangan tidak akan melihat dan menerima diri kita seutuhnya. Yang dia lihat dan terima adalah sosok imajiner yang ada dalam pikirannya. Mau sampai kapan terus-terusan menjadi sosok imajiner pasangan kita? Oh, no. Membayangkannya saja saya sudah duluan capek, lelah, letih. I can't! Saya tidak bisa menjadi barbie, Elsa dari animasi Frozen, Upik Abu, atau menjadi Lara Croft yang super seksi. Bahkan saya tidak bisa menjadi seperti Mamatua yang begitu dipuja oleh Bapa. Tapi percayalah masih banyak yang melakoninya dengan pasal tidak ingin kehilangan pasangannya.

Kehilangan saja sudah bikin dada kita sesak. Apalagi kehilangan pasangan. Saya mengalaminya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Entah. Pasangan yang betul-betul disebut pasangan. Pasangan yang baru mulai atau hendak menjadi pasangan. Semoga kalian paham maksudnya. Pada suatu titik didih saya sadari bahwa kehilangan pasangan bukanlah perkara terbesar ranah asmara

Melepaskan sesuatu. Berat. Memang! Harus disikapi dengan seni sehingga yang tertinggal kemudian adalah tawa. Menertawai diri sendiri. Tidak menangis? Ah, sebagai manusia menangis merupakan perbuatan paling manusiawi. Tapi menangis tidak boleh menjadi bagian terbesar dari hidup kita. Jadi, kalau ditanya apakah saya menangis ketika kehilangan? Iya, saya menangis. Sejadinya. Sendiri. Kemudian otak saya mulai mencerna tentang kehilangan ini. Saya mengingat ketika bunga berikut wadahnya digondol maling. Murka. Lantas membiarkan. Siapa sangka saya dihadiahi bunga yang baru oleh orang lain? Saya juga ingat ketika uang saya hilang sekian ratus ribu. Mencari ke mana? Susah sekali kalau jatuh perkaranya soal uang yang hilang. Saya membiarkan saja. Siapa sangka rejeki lain datang dengan cara tidak terduga?

Melepaskan sesuatu itu memang berat. Apalagi ... sesuatu yang sudah kita anggap sebagai hak milik ternyata bukan milik kita. Lelaki. Seorang sahabat bercerita tentang lelaki yang pergi. Lelaki yang telah mengucapkan janji-janji manis di awal, berusaha meyakinkan dalam perjalanan hubungan itu, kemudian memutuskan pergi. Lelaki yang sudah si sahabat anggap sebagai hak milik. Namun, ada ketidakberdayaan yang menyebabkan si sahabat tidak mungkin mempertahankan lelaki(nya). Sementara itu, perasaan sudah mulai bermain-main dalam hubungan itu. Berat. Memang. Ketika mendengar cerita itu, otak saya mulai mencerna. Mungkin lelaki tidak mampu menerima kejujuran sahabat saya, meskipun si sahabat mampu menerima kejujuran lelaki(nya). Bagi lelaki, mana ada perempuan seterbuka dan sesantai itu terhadap masa lalu seorang lelaki yang kelam? Makhluk astral! Maka, kemudian sahabat saya ditinggalkan.

Pada sahabat saya mulai menceritakan tentang perbuatan-perbuatan yang menyenangkan: traveling, mengenal masyarakat di daerah lain, menikmati sunset, nongkrong di kafe, atau sekadar membaca buku self improvement. Sahabat saya tertawa saat saya bercerita tentang teman-teman terbaik di kelas yang berakhir menjadi pengabdi negara, dan teman-teman terburuk di kelas yang menjadi pengusaha sukses. Ah, melihatnya tertawa, saya tahu dia masih sedih tapi setidaknya cerita-cerita konyol saya mampu menguranginya walau hanya sedikit.

Saya pernah berada dalam posisi si sahabat. Ditinggalkan. Kehilangan. Menangis sejadinya. Sendiri. Tapi saya bukan tipe manusia yang bergembira dalam larutan kesedihan. Saya ingin menjadi yang berbeda. Mulai dengan mencerna bahwa setiap kehilangan niscaya akan diganti dengan sesuatu yang baru meskipun tidak harus sesuatu yang jauh lebih baik. Bunga dan wadahnya yang digondol maling itu diganti dengan bunga lain meskipun bukan mawar (bunga yang hilang itu adalah mawar). Saya mencerna bahwa desakan untuk memiliki seseorang adalah kesalahan fatal. Oleh karena itu desakan memiliki saya ganti dengan desakan untuk bersama-saja. Dan seseorang yang telah bersama kita, tanpa harus dimiliki itu, kemudian memutuskan pergi, saya harus melepaskan karena itu bukan milik saya. Seseorang itu adalah milik Allah SWT.

Apakah saya coba menulis tentang ikhlas di sini? Ah, tidak. Ikhlas adalah ilmu tertinggi yang belum bisa saya capai. Mencoba-ikhlas, itu dia. Mencoba-ikhlas dan menjalani kehidupan saya seperti semual jadi. Menikmati keajaiban demi keajaiban yang dicurahkan Allah SWT untuk saya. Menderita maag tapi masih bisa menegak kopi itu adalah keajaiban. Kadar gula dalam darah sangat tinggi tapi masih bisa menikmati cake manis tanpa keluhan adalah keajaiban. Neuropati tapi masih mampu naik-turun tangga tiga lantai adalah keajaiban. Setiap hari mendengar celoteh riang Mamatua bersama Mamasia adalah keajaiban. Pun diberi kesempatan merawat dua keponakan adalah keajaiban. Saya membuka pintu pandangan yang lain ketika pintu asmara saya rusak.
Terakhir, seni untuk melepaskan sesuatu atau seseorang yang bukan milik kita adalah dengan menyadari bahwa itu milik Allah SWT. Itu milik Tuhan. Dan urusan sama Allah SWT itu tidak boleh ada protes. Semakin memprotes, semakin berat yang akan kita pikul. Seni untuk melepaskan sesuatu atau seseorang yang bukan milik kita adalah dengan membiarkan atau mencoba-ikhlas. Seni untuk melepaskan sesuatu atau seseorang yang bukan milik kita adalah dengan membuka pintu pandangan yang lain ketika pintu asmara rusak. Bahwa apa yang dialami bukanlah end of the world. Jangan memikul apa yang tidak perlu dipikul. Biarkanlah.

Kita hanyalah manusia yang diciptakan Allah SWT bukan untuk memikul segalanya dalam hidup.[]



Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak