#PDL Ngojek Sepeda


#PDL adalah Pernah DiLakukan. Pos #PDL merupakan cerita ringan tentang apa saja yang pernah saya lakukan selama ini.

***

Hari itu, salah satu hari pada tahun 2013, saya janjian sama Ika Soewadji dan teman-teman Blogfam untuk pergi ke Kota Tua Jakarta. Teman-teman Blogfam yang baik hati itu ada Kakak Mas, Kakak Dahlia atau akrab disapa Kakak Day, dan Kakak Diaz. Check point di Terminal Busway Pancoran Timur. Sekitar pukul 08.00 WIB kami sudah berkumpul di situ untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Tua Jakarta. Karena, berkali-kali ke Jakarta tapi belum ke Kota Tua rasanya kok ada yang ganjal. Saya harus menuntaskan ngidam yang satu ini.

Baca Juga : #PDL Braket

Kota Tua Jakarta juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta yang memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka). 

Perjalanan kami waktu tidak langsung ke Kota Tua Jakarta sih, masih mampir ke sebuah tempat, lalu dilanjutkan dengan mobil ke sana. Saat tiba di Kota Tua Jakarta, yang mengganjal itu kemudian lenyap. Here I am! Tempat yang selalu saya idam-idamkan setiap kali datang ke Jakarta. Mata saya menumbuk Museum Fatahillah. Sebuah meriam berdiri di sisi kiri bangunan museum. Meriam si Jagur. Dari Liputan6, dikatakan meriam seberat 3,5 ton itu, menurut Thomas B. Ataladjar, pengajar jurnalistik dan menulis di SMP dan SMK Plus Berkualitas Lengkong Mandiri, Kota Tanggerang Selatan, dibuat dari peleburan 16 meriam kecil lain. Karena itu, wajar bila si pembuat mengukir tulisan Ex Me Ipsa Renata Sum yang berarti, "Aku diciptakan dari diriku sendiri."

Dan saya diciptakan untuk bisa berfoto dengannya:


Pada meriam ini, bagian ujungnya, ada sebuah simbol yang kalau di Ende orang bilang; kurang ajar. Hehe. Sebuah tangan yang mengepal dengan ibu jari terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah. Konon, jika perempuan menyentuh simbil meriam si Jagur, dan sedang berencana punya anak, bisa lekas hamil.

Sudah membuktikan, Teh?

Uh uh. Belum.

Adalah Kakak Diaz atau Kakak Dahlia, I can't remember it clearly, yang menyarankan kita untuk berkeliling menggunakan jasa ojek sepeda. It's weird. Sepeda? Are you sure? Yess, sir! Dari Museum Fatahillah kita berangkat ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Jujur saya memilih, very quick scan, tukang ojek paling muda, kira-kira kuat lah memompa kakinya dengan muatan seberat saya. BismillahTernyata naik ojek sepeda itu menyenangkan. Saya mengeluarkan kamera supaya bisa mengabadikan momen keren ini. Karena, saudara-saudara, di Ende tidak ada ojek sepeda. Bisa depresi tukang ojeknya! Tanjakan dan turunan adalah nama tengah kota kami.


Jelas, ada kekuatiran dalam hati saya, bagaimana jika betis tukang ojeknya tidak mau kompromi? Hehehe. 


Tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, tukang ojek sepedanya disuruh menunggu. Kami hanya sempat foto-foto sebentar. Saya sendiri tidak bertanya pada beberapa nelayan yang ada di situ. Entahlah. Pemandangan pelabuhan ini bikin saya terkesima; so old, so antique. Asyiknya bisa foto sambil meloncat begini:


Saya penasaran, ke mana kah kaos dan sepatu itu sekarang? :D

Dari Pelabuhan Sunda Kelapa, kita pergi ke Museum Bahari, tentu ojek sepedanya setia menunggu hahaha. 


Terimakasih sudah memotret saya ... terngiang lagu Padamu Negeri. Sebenarnya banyak informasi yang saya gali dari Museum Bahari, dan sempat mencatat beberapa, tapi waktu itu belum sempat menulis secara terpisah. Nanti deh, dicari dulu serpihannya. Oia, setelah dari Museum Bahari kami ke Pecinan lantas pergi mencari makan.

Berakhirnya pengalaman saya bareng tukang ojek sepeda adalah saat kami tiba di sebuah rumah makan masakan Padang. Dadagh abang tukang ojek sepeda.

Ojek sepeda memang tidak sama dengan ojek sepeda motor. Pengalamannya seru apalagi saat sepeda melintasi lubang di jalanan atau saat tukang ojek sepedanya menghindari lubang dan/atau batu. Pegangan di belakang sadel kecil itu cukup membantu. Jangan banyak bergerak dan keliwat kuatir, apalagi sampai teriak ketakutan, karena itu bakal bikin tukang ojek sepedanya gugup. Dan, tentu, ojek sepeda, menurut saya, hanya akan laku di daerah wisata dan/atau wilayah kecil seperti pedesaan yang topografinya datar.

Pernah, saya pernah begitu ... ngojek sepeda di Kota Tua Jakarta. Bagaimana dengan kalian?



Cheers.

8 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Saya pernah naik ojeg sepeda waktu berkunjung ke daerah sawah Lio Jakarta barat. ASyik juga sih pakai sepeda onthel. BTW keren sekarang euy blognya pakai template premium...makin serius nih ngeblognya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe terima kasih Mas Dwisu :D ternyata kita sama-sama pernah ngerasain ojek sepedaaaa yuhuuuu :D

      Hapus
  2. Baru tahu kalau ternyata ada ojek sepeda disana, selama ini hanya tahu nama tempatnya, berkat mbak tuteh sedikit banyak menambah informasi tentang kota tua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah apabila ada informasi yang diperoleh dari membaca blog ini Kipudin wkwkwkwk :D ya saya juga baru tahu waktu mengalami sendiri ngojek sepeda :D

      Hapus
  3. Ojek sepeda, ojek payung, ojek gendong ada gak ya hihihi
    Hufftt apalah dayaku yang belum pernah keluar dr sumatera 😁
    Moga2 nanti ada kesempatan mengunjungi kota bersejarah ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ojek payung sudah ada kan ya hahahah ojek gendong ini yang saya belum tahu hahahah... ada saja nih Wiki :D Btw didoakan semoga ke depan akan ada kesempatan keluar Sumatera ... lhaaa saya justru pengen banget bisa ke Sumatera ...

      Hapus
  4. Sampai sekarang masih ada kok ojek sepedanya,

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak