Rohingya dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

 


Nama Rohingya gencar muncul di berbagai media pada akhir tahun 2023. Pemberitaan tentang kedatangan mereka di Indonesia, tepatnya di Aceh, dibarengi dengan segala macam polemik. Sebut saja protes pengungsi pada makanan yang diberikan (bahkan sampai membuang makanan tersebut), tingkah laku oknum pengungsi yang melarikan diri dan berbaur dengan masyarakat pribumi, oknum pengungsi melakukan pelanggaran dan/atau kejahatan, sampai oknum pengungi yang BAB di tambak milik warga. Satu hal yang patut saya acungi jempol adalah optimisme mereka untuk tetap eksis dengan menambah keturunan meskipun biaya hidup seorang anak tidaklah murah, apa lagi mereka berstatus pengungsi.

Catat, ya ... Bagi Psikopat Kebaikan Orang Lain Adalah Kewajiban.

Bagaimana sejarah Etnis Rohingya? Mari kita cari tahu.

Sejarah Singkat Rohingya

Melansir dari berbagai sumber di internet, tersebutlah sebuah wilayah bernama Arakan. Republika menulis, Arakan adalah dataran di sepanjang pantai timur Teluk Benggala, membentang dari Sungai Naf di perbatasan Chittagong ke Semenanjung Negarise. Lokasinya tepat di sebelah timur Bangladesh. Secara politis, Arakan masuk wilayah negara Myanmar meskipun secara fisiografis alam Arakan terpisah dari negeri yang dulu bernama Burma itu. Arakan adalah kerajaan yang sudah berdiri pada tahun 2666 SM.

Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan/Rakhine sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430–1434). Sejarawan Inggris Daniel George Edward Hall menulis bahwa warga etnis Burma yang sekarang berkuasa di Myanmar baru menetap di Arakan pada awal abad ke-10 M. Mereka berada di utara dekat Akyab. Sementara itu, pedagang Muslim Arab dan Persia pertama datang ke Arakan pada abad ke-8 M. Pedagang Arab dan Persia berlayar menyusuri pesisir Samudra Hindia dalam perjalanan dagang menuju Cina.

Dengan berjalannya waktu, jumlah Muslim di Arakan mulai meningkat. Pedagang Arab telah menjalin hubungan sangat baik dengan orang-orang lokal dan menikahi perempuan setempat. Keturunan para pedagang Arab dan masyarakat etnis Arakan itu kemudian disebut dengan nama Rohingya. Sementara, warga Arakan yang beragama Buddha dikenal dengan nama Etnis Rakhine. Sehingga, nenek moyang orang Rohingya bukanlah orang Bangladesh melainkan campuran dari Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali, Moors, Mughal, Pathans, Maghis, Chakmas, Belanda, Portugis dan Indo-Mongoloid.  

Berkaitan dengan Inggris, menurut BBC: Narasi resmi yang digunakan Myanmar adalah bahwa Rohingya sebagai pendatang gelap dari Bangladesh yang sebelumnya dibawa oleh penjajah Inggris ke Myanmar- ketika itu disebut Burma - untuk bekerja di ladang. Mereka pada umumnya tinggal di Rakhine. Rohingya sendiri meyakini mereka adalah penduduk asli Rakhine yang semestinya diperlakukan sama dengan etnik mayoritas Rakhine.

Karena tidak masuk dalam daftar 135 etnik yang diakui sah sebagai warga negara Myanmar berdasarkan undang-undang 1982, Rohingya tak mendapat akses leluasa, misalnya ke layanan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Jika ingin menjadi warga negara, mereka harus mengikuti proses naturalisasi dengan bukti-bukti dokumen panjang bahwa mereka sudah menetap di Myanmar, tetapi selama ini akses mereka untuk memperoleh dokumen dibatasi. Lagipula, mereka tidak boleh mengklaim diri sebagai Rohingya. Artinya, mereka harus menanggalkan atribut itu sama sekali.

Terjadinya Bentrokan

Sejak kekerasan komunal antara komunitas Buddha dan Muslim pada 2012, kaum nasionalis Buddha mengklaim terjadi 'peningkatan penduduk Muslim karena angka kelahiran tinggi' sehingga mereka perlu 'melindungi' ras dan agama mereka sebagai identitas Myanmar. Etnik mayoritas Rakhine, yang beragama Buddha, dan kelompok Muslim Rohingya tidak hidup berdampingan sejak kerusuhan komunal besar di negara bagian Rakhine, Myanmar, pada 2012.

Mengungsi ke Indonesia

Menurut Wikipedia, pengungsi Rohingya di Indonesia adalah warga etnis Rohingya yang melarikan diri ke Indonesia dari upaya genosida yang dilakukan oleh pemerintah junta militer Myanmar. Seperti para pengungsi Rohingya di Bangladesh, Indonesia bukanlah menjadi negara tujuan para pengungsi untuk mendapatkan suaka politik, melainkan hanya sebagai negara transit atau persinggahan. Kemudian para pengungsi Rohingya di Indonesia akan dibantu oleh Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) untuk dibantu menuju negara tujuan.

Menurut UNHCR pada 2016, jumlah warga Rohingya yang mengungsi ke Indonesia ada sekitar 897 orang. Setahun berikutnya jumlah tersebut meningkat menjadi 959 orang. Pada periode 2019, jumlah pengungsi Rohingya sudah menurun menjadi 582 orang, seiring dengan proses transisi demokrasi Myanmar. Namun jumlah tersebut semakin meningkat pada 2020 menjadi 921 orang seiring meningkatnya kekerasan di Myanmar yang berujung pada kudeta Myanmar pada 2021.

Saat Ini

Jumlah total pengungsi Rohingya yang mendarat ke Aceh sejak pertengahan November 2023 lalu mencapai 1.543 orang. Data itu diperoleh dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) per 10 Desember 2023. Adapun total kapal yang mendarat di Aceh mencapai 9 unit. Saat ini imigran gelap tersebut ditempatkan di lokasi penampungan sementara di sejumlah daerah di Aceh. Namun bukan tanggung jawab penuh Indonesia terhadap para pengungsi ini karena bukan termasuk negara yang menandatangani Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

Sebagaimana ditulis oleh Taufik Akbar, S.IP., M.A. dan Riski Dwijayanti, S.E., MGPP. pada artikel yang satu ini:

Sampai dengan saat ini, Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967), sehingga Indonesia sesungguhnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk ke wilayahnya. Namun demikian, Indonesia bersedia menjadi negara yang menampung sementara para pengungsi luar negeri dengan alasan kemanusiaan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi 1951 yang meminta negara-negara yang tidak termasuk Negara Pihak menganut prinsip non-refoulement, yaitu tidak memulangkan paksa seluruh migran yang datang mencari suaka ke negara asal.

Dikatakan semua biaya operasional pengungsi bukan ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. UNHCR berkoordinasi dengan pihak-pihak tertentu untuk mengatasi/menanggungnya.

Sampai kapan pengungsi dapat tinggal di negara transit, seperti pengungsi Rohingya di Indonesia?

Telah ada Peraturan Presiden Republik Indoneia Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Namun di dalam peraturan tersebut tidak memuat ketentuan jangka waktu pengungsi perada di negara transit. Padahal seharusnya ini menjadi fokus tersendiri karena jika dibiarkan berlarut-larut dan berlama-lama di negara transit, termasuk Indonesia, mereka akan enggan menuju negara tujuan penampung pengungsi seperti Australia, Amerika, dan Kanada. Apa lagi ada bumbu-bumbu merasa nyaman dan bisa mendapatkan pekerjaan. Yaaaa yang semacam itulah. Kalian tahu lah narasi-narasi yang ada di Youtube.

Sudah benar Indonesia bukan termasuk negara yang menandatangani Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Karena akan berdampak pada berbagai lini kehidupan; ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya. Tapi secara kemanusiaan, ada tanggung jawab moral di sini. Tapi, jika pengungsi berlama-lama di negara transit, perlu dilihat lagi, ketika pengungsi tidur di tempat pengungsian, sesungguhnya masih banyak masyarakat Indonesia yang tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit. Masalah masyarakat Indonesia sangat kompleks dan belum semua dapat ditangani/diatasi. Sebagaian masyarakat Indonesia sudah pasti merasakan kebijakan-kebijakan oke dari pemerintah seperti misalnya KIS, tapi sebagian lagi belum tentu, apa lagi mereka yang 'hidup di jalanan'.

Harapan saya, ketegasan pemerintah bisa diatur di dalam peraturan perubahan dari peraturan yang sudah ada, yang juga memuat jangka waktu pengungsi boleh berada di negara transit. Itu harus! Karena Indonesia sudah menyatakan diri tidak ikut mengurusi pengungsi dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Dan tentu saja pemerintah berkewajiban hadir dalam mengatasi fakir miskin dan anak terlantar agar terjadinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu, sesama masyarakat Indonesia juga sudah saling membantu, jadi saya pikir bebannya agak berkurang ... misalnya ada orang per orang atau lembaga swasta yang mau mengurusi ODGJ dan anak terlantar. 

Emang ada?

Ada dong. Pak Purnomo, pak polisi melalui channel Youtube PURNOMO BELAJAR BAIK. Pak Purnomo menampung ODGJ, mengobati, mendidik, hingga ada loh yang bisa dipulangkan ke keluarga. Ada pula PRATIWI NOVIYANTHI yang membantu anak terlantar termasuk ODGJ dan anak si ODGJ. Luar biasa masyarakat Indonesia. Salut! Masih banyak yang lainnya, biar kalian cari sendiri ya 😁

Semoga do'a dan harapan kita terkabul ... Amin.


Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak