Antara Saya, Trans Flores, dan Festival Daging Domba


Antara Saya, Trans Flores, dan Festival Daging Domba. Alhadulillah, dua jadwal yang baru direncanakan menjelang akhir tahun, jadwal serba mendadak dangdut, telah tunai. Yang pertama adalah menghadiri Festival Literasi Nagekeo 2019 pada 28 September 2019 di Lapangan Berdikari Kota Mbay. Yang kedua adalah menghadiri Festival Daging Domba 2019 pada 19 Oktober 2019 di Bukit Weworowet. Kedua festival keren itu diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Nagekeo. Bagaimana caranya kabupaten muda ini mampu menyelenggarakan dua event besar dalam tempo yang berdempetan, itu menjadi rahasia yang harus dicaritahu, sekaligus merupakan motivasi bagi kabupaten lainnya yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Yang jelas, dua event itu telah mendongkrak dunia literasi, budaya, serta pariwisata di Kabupaten Nagekeo.

Adalah jauh jarak antara Kota Ende sebagai Ibu Kota Kabupaten Ende, tempat saya tinggal, dengan Kota Mbay sebagai Ibu Kota Kabupaten Nagekeo. Biasanya saya selalu mampir mengaso sebentar di percabangan Aigela, menikmati jagung rebus dan segelas kopi, yang dijual di lapak-lapak oleh penduduk setempat, baru kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kota Mbay.


Bagi kalian yang bermukim di kota besar, jarak 90-an kilometer tidak menjadi persoalan, karena akses jalan raya yang luar biasa di kota besar sering membikin kami yang tinggal di Pulau Flores terpesona sekaligus iri. Jalanan lebar, lurus, mulus, trafic light di mana-mana, merupakan makanan kalian sehari-hari. Bukan persoalan mudah, memang, menghubungkan setiap kabupaten di Pulau Flores. Topografinya yang ekstrim membikin jalan penghubung antar kabupaten juga ekstrim. Meskipun demikian, saya bersyukur karena untuk menghubungkan setiap kabupaten di Pulau Flores, sudah ada mediatornya.

Mediator Itu Bernama Trans Flores


Trans Flores merupakan mediator/penghubung setiap kabupaten yang ada di Pulau Flores dari ujung Barat ke ujung Timur. Topografi Pulau Flores itu berbukit-bukit (ekstrim menurut sebagian orang), disertai jurang baik jurang dengan sungai atau batu karang dan ombak menunggu di bawah sana, membikin Trans Flores otomatis menjadi ekstrim. Bayangkan saja, selain jalanan itu mengitari bukit, ribuan kelokan, dan naik turun, pun ada bukit yang dibelah demi keberlanjutan Trans Flores ini.

Salah satu titik favorit, arah Barat dari Kota Ende, sebelum Kecamatan Nangapanda. Sisi perbukitannya nampak bak lukisan abstrak.

Trans Flores sudah ada sejak zaman dulu-dulu, dan terus diperbaiki demi kelancaran lini transportasi antar kabupaten. Bahkan, sampai saat ini pun Trans Flores masih terus diperbaiki, antara lain perbaikan titik-titik berlubang hingga pelebaran jalan. Apabila terjadi pengerjaan proyek pelebaran jalan maka para pengguna Trans Flores harus mempersiapkan diri dengan sangat baik, terutama para pengendara sepeda motor. Seperti saya. Hehe. Karena, proyek pelebaran jalan selalu berkaitan dengan pengerukan bukit, dan kombinasi keduanya pasti menimbulkan debu setiap ada kendaraan yang melintasi. Jangan pernah lupakan masker!


Proyek perbaikan dan/atau pelebaran jalan memang bakal membikin perjalanan lintas Pulau Flores menjadi sedikit terganggu karena harus saling mengalah saat melintasi jalan sempit terutama di kelokan yang sebagian badan jalan dikuasai material, serta debu yang berterbangan. Tapi jangan kuatir. Saya sudah pernah mengalaminya ratusan ribu kali. Proyek perbaikan dan/atau pengerjaan jalan ini tidak memakan waktu terlalu lama. Paling-paling tiga bulan ke depan, kalau ke luar kota lagi, kondisinya sudah semakin bagus. Bukankah perbaikan dan pelebaran jalan ini dilakukan demi kelancaran transportasi antar kabupaten? Jadi, mari kita rayakan!

Karena saya tinggal di Kota Ende, perjalanan ke arah Barat dan ke arah Timur Pulau Flores selalu memberi kesan tersendiri. Arah Barat, identik dengan tebing, hutan, jurang, dan laut, selalu menyuguhkan pemandangan seperti ini:




Sedangkan arah Timur yang identik dengan tebing, hutan, jurang, dan sungai, juga tak kalah, selalu punya pemandangan seperti ini:



Kondisi jalan yang baik antar kabupaten, suguhan pemandangan supa amazing sepanjang perjalanan, hingga menawannya keramahan masyarakat Pulau Flores, membikin wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara kini lebih suka mengendarai sendiri kendaraan sewaan terutama sepeda motor matic. Bila dulu sering bertemu mobil rental/travel atau bis pariwisata dipenuhi wisatawan mancanegara, maka sekarang saya lebih sering bertemu wisatawan mancanegara mengendarai sepeda motor matic. Ada yang sendiri, ada yang berkelompok. Sayangnya, dalam perjalanan menuju Kabupaten Nagekeo minggu kemarin, saya lupa memotret rombongan sepeda motor matic yang dikendarai oleh sekelompok wisatawan mancanegara.

Urusan sewa-menyewa sepeda motor matic ini sudah saya ketahui sejak lama. Sejak saya pergi ke Kota Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat, tahun 2014. Waktu itu dari Kota Labuan Bajo menuju Air Terjun Cunca Wulang, kami juga menyewa sepeda motor matic. Pun waktu sahabat saya Yunaidi Joepoet pergi ke Kabupaten Ngada mengabarkan dirinya menyewa sepeda motor matic. Jangan kuatir, sepeda motornya pasti halal: STNK pasti diberikan oleh pemilik penyewaan, plus dua helem standar nasional.

Menurut saya pribadi, apa yang terjadi di Pulau Flores, di lini transportasi yang turut mendongkrak dunia wisatanya, merupakan pencapaian yang luar biasa oleh Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. Dirilis di sini, dikatakan bahwa Program Indonesia Sentris yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla telah membuka akses keterisolasian serta dapat meningkatkan perekonomian suatu daerah. Dalam kurun waktu lima tahun belakangan dilakukan pembangunan infrastruktur transportasi dengan pendekatan Indonesia Sentris untuk membuka keterisolasian yaitu dengan memberikan dukungan aksesibilitas terhadap daerah 3TP (Terluar, Terdepan, Tertinggal, dan Perbatasan).

Jadi kalau ditanya apa kaitan antara lini transportasi, lini pariwisata, dan lini ekonomi, siapapun pasti bisa menjawabnya. Lini transportasi jelas mendukung lini pariwisata yang berimbas pada lini ekonomi. Karena Trans Flores pula saya rajin wara-wiri se-Flores dan terakhir terdampar di kaki Bukit Weworowet mengikuti kegiatan Festival Daging Domba.

Festival Daging Domba


Awalnya saya menyangka Festival Daging Domba baru akan dilaksanakan Bulan November, sudah siapkan waktu cuti pun, tetapi saya salah. Festival Daging Domba dibuka dengan resmi oleh Bupati Nagekeo Bapak Don Bosco Do pada Senin, 15 Oktober 2019. Kabarnya baru saya tahu hari Rabu saat sedang mengobrol tentang sampah bersama Abang Umar Hamdan dan Cahyadi. Uh wow, saya harus ke sana! Itu adalah jadwal yang harus ditunaikan. Karena saya punya kewajiban pekerjaan utama, sehingga baru bisa berangkat ke Kota Mbay pada Sabtu, sepulang kerja.

Sebenarnya, Festival Daging Domba ini sudah dimulai pre-event-nya justru sebelum Festival Literasi Nagekeo 2019 diselenggarakan. Sudah dibuka restoran daging domba di sekitar Bukit Weworowet oleh masyarakat/pemuda dari Desa Nggolonio, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo. Setelah selesai Festival Literasi Nagekeo 2019, barulah Festival Daging Domba benar-benar dimulai.

 Dalam perjalanan memasuki Kota Mbay, bertemu papan aturan ini. Wah, ini bagus sekali!

Sabtu, 19 Oktober 2019, berangkatlah saya ke Kota Mbay bersama Deni Wolo. Kami mengendarai sepeda motor masing-masing. Mampir sebentar di Aigela untuk istirahat, perjalanan dilanjutkan, dan tiba di Kota Mbay sekitar pukul 15.30 Wita. Mampir lagi di rumah Novi, blogger dan aktivis muda Kota Mbay, barulah kami ngegas menuju Towak. Towak? Iya, Towak. Towak merupakan sebuah wilayah di Kabupaten Nagekeo yang letaknya berada di jalan Trans Flores; Mbay - Riung. Untuk diketahui, Riung yang terkenal dengan Taman Laut 17 Pulau Riung itu, berada di wilayah Kabupaten Ngada bukan Kabupaten Nagekeo. Di Towak ada keponakan saya, Iwan, yang isterinya, Reni, bekerja di Pustu Towak sebagai bidan, serta dua cucu saya Andika dan Rayhan. Karena jembatan utama Trans Mbay - Riung sedang diperbaiki, kami harus melewati jalur darurat yang berdebu ini, haha.


Tiba di Towak, istirahat sebentar sambil mengobrol, saya dan Deni lantas pamit duluan pada Reni untuk bisa menangkap momen sunset di Bukit Weworowet. Bukit yang bentuknya unik dan menjadi lokasi Festival Daging Domba tersebut. Jarak antara Towak dan Bukit Weworowet sekitar 10 sampai 15 menit perjalanan saja.

Bukit Weworowet senja itu.

Sunset dari balik bukit yang berhadapan dengan Bukit Weworowet.

Kami lantas mencoba memesan sate domba, seporsi saja dulu, karena toh saya dan Deni belum terbiasa dengan daging domba. Resto ini terletak di samping panggung utama, sedangkan jejeran resto lainnya menghadap panggung utama. Selain daging domba, juga dijual jagung rebus, dan gorengan. Sayangnya sore itu jagung dan gorengan belum ada. Dalam bahasa Nagekeo, daging domba disebut nake lebu atau nakeng lebu.



Karena masih sore, suasana belum ramai. Itu yang membikin saya dan Deni merasakan sensasi ketenangan dan kenyamanan yang luar biasa. Menikati sate domba sambil menonton Bukit Weworowet yang tegak diam begitu, wuih, surga. Sampai-sampai Deni bilang: kalau saja bukit ini dekat Ende, setiap sore ke sini saja. Kami bertahan hingga matahari benar-benar menghilang. Akhirnya saya mengirim pesan WA pada Reni untuk menyusul ke lokasi ini. Ketimbang saya dan Deni harus pulang ke Towak, terus kembali lagi ke Bukit Weworowet. Malam itu kami makan malam dengan menu nasi (beras) merah, sate dan soto daging domba, serta ada gorengan pesanan yang dibawa Iwan dan Kota Mbay. Saya dan Deni memang memutuskan untuk tidak lagi menikmati daging domba karena punya alasan sendiri-sendiri haha.



Malam itu, selain menikmati daging domba, kami juga menonton pertunjukan seni oleh murid SD, SMP, dan SMA yang ada di Desa Nggolonio.


Menurut Iwan dan Reni, beberapa malam sebelumnya justru paling ramai wisatawan mancanegara di festival ini. Mereka bahkan memesan begitu banyak sate daging domba! Sampai-sampai para pengelola resto kewalahan. Hehe. Wisatawan itu kebanyakan datang dari Riung. Ya jelas, jalan Trans Flores Mbay - Riung kan mulus begitu, mana jaraknya dekat pula. Rugilah kalau sehabis snorkling di perairan Riung yang mempesona, terus tidak menikmati daging domba.

Yang tertangkap pandangan mata saya malam itu adalah Festival Daging Domba merupakan kegiatan yang sangat positif, karena selain memperkenalkan domba sebagai salah satu kuliner khas dari Kabupaten Nagekeo, kegiatan ini membuka ruang kepada masyarakat untuk memperoleh penghasilan tambahan, juga memberikan hiburan kepada masyarakat Desa Nggolonio dan sekitarnya pada khususnya, dan wisatawan pada umumnya. Kaum muda, khususnya anak sekolah, pun diberi ruang melalui panggung seni. Di sepanjang jalan saya juga melihat begitu banyak sepeda motor diparkir berjejer dan anak-anak muda sibuk dengan gadget-nya masing-masing. Kata Iwan: sinyal terkuat adalah di kaki Bukit Weworowet sehingga siapapun yang ingin komunikasi digitalnya lancar, harus ke sini. Oh la la.

Sekitar pukul 22.00 Wita kami pun pulang kembali ke Towak dan mengobrol hingga pukul 03.00 Wita.

Ikan Bakar yang Dua Kali Gagal Disuguhkan


Dan ikan bakar itu baru disuguhkan pada waktu makan ketiga. Sebenarnya Reni sudah menyiapkan ikan untuk dibakar sebagai lauk makan malam kami pada Sabtu (malam Minggu). Tetapi karena malam itu kami sudah makan malam dengan menu sate dan soto daging domba di Festival Daging Domba, maka ikan ini kemudian dibakar pagi hari sebagai bekal sarapan. Sayangnya Deni Wolo masih pulas dan tak enak pula jika sarapan sendirian. Pada akhirnya ikan bakar yang dua kali gagal disuguhkan ini, sukses pada suguhan (waktu makan) ketiga yaitu makan siang di Hari Minggu! Amboiiii. Hehe.



Usai makan siang, berisirahat sebentar, saya dan Deni pun pamit pulang kembali ke Kota Ende. Karena, Senin telah menunggu dan kami harus bekerja! Kembali ke Kota Ende, kembali melewati jalur darurat ini:


Saya yakin, kunjungan berikutnya ke Kabupaten Nagekeo, sudah boleh melintasi jembatan yang menghubungkan Kota Mbay dengan Riung. Dan jalur darurat ini pasti sudah ditata sesuai peruntukkan utamanya yaitu sebagai lahan persawahan masyarakat. Semoga.

⇜⇝

Pada akhirnya, sebagai Orang Ende - Orang Flores, saya harus mengakui banyak perkara yang telah terjadi di pulau kami ini. Yang pertama: infrastruktur (sarana dan prasarana transportasi) yang semakin ke sini semakin membaik telah menolong saya dalam bekerja dan traveling keliling Pulau Flores. Ya, pekerjaan saya itu salah satunya ya keliling Pulau Flores. Yang kedua: infrastruktur (sarana dan prasarana transportasi) telah mendukung dan mendongkrak lini pariwisata. Karena, apalah artinya sebuah tempat wisata jika untuk menjangkaunya sulit sekali? Yang ketiga: dengan terdongkraknya lini pariwisata, tentu lini ekonomi rakyat lebih terbantu. Saya pikir, dengan membaca pos ini utuh dari awal sampai akhir, kalian pasti memahaminya.

Sampai jumpa di festival-festival berikutnya!




Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak