Daun Sop dan Cabe Ijo yang Menggiurkan



Tidak ada yang terlalu sulitnya dalam hidup ini jika manusia mau berusaha/mencoba.


Itu yang terpikirkan di benak saya ketika memulai menulis pos ini. Contohnya, ketika ada keperluan mendadak memperbanyak dokumen sekitar sepuluh lembar untuk diikutkan ke dalam bundelan berkas karena besok pagi tidak mau repot mengantri di tempat fotokopi dan/atau tidak punya alat scan, saya menggunakan kamera untuk memotret dokumennya, memindahkannya ke laptop untuk disunting (potong, kecerahan, dll), kemudian dicetak. Hasilnya tidak jauh dari hasil fokopian. Hal yang sama juga saya lakukan untuk mencetak pas foto hitam-putih. Dengan kemauan dan sedikit klak-klik-dhar, foto tinggal diantar ke tempat jasa mencetak foto (karena printer saya tidak mumpuni untuk cetak foto) hehe.

Baca Juga:
Jembatan Gantung yang Cihuy
Misa Syukur dan Pelantikan Rektor Uniflor
Yang Muda Yang Berkarya
Beberapa hari terakhir saya membaca pos di media sosial tentang cabe, cabe, dan cabe. Ada teman Facebook yang mengeluh tak-tik para penjual cabe kumpulan (seukuran gelas) yang bagian bawah gelas ternyata diletakkan benda tertentu sehingga cabe dalam takaran gelas itu memang terlihat penuh tapi sebenarnya tidak. Ada pula pos dari Om Bisot yang membikin saya berkomentar tentang menanam sendiri cabenya dengan bibit yang bisa dibeli di toko.

Apabila mau mencoba, pasti bisa. Demikianlah.

Saya menulisnya bukan karena sok-sok-an tetapi karena sudah berpengalaman alias sudah melakukannya. Sebut saja tahun 2016 saya mulai merasa risih dengan kondisi teras rumah yang kering tanpa satu pun pot bunga. Padahal dulu waktu Mamatua masih sehat 100% teras rumah dan halaman dipenuhi tanaman baik bunga hias maupun tanaman semacam apotik hidup. Kata teman-teman; tumben saya merasa risih. Hehe.

Saya mulai dengan botol-botol plastik bekas air mineral, menanam beberapa anakan tanaman seperti kaktus, cocor bebek, hingga lidah mertua. Namanya juga anakan, jadi masih kecil-kecil. Lantas terbit keinginan untuk menanam daun sop atas usul Cahyadi. Yakin? Yakin! Kenapa tidak dicoba saja dulu? Maka Cahyadi bertugas membeli bibit daun sop di Toko Sabatani, toko yang khusus menjual semua kebutuhan untuk bertani, berladang, dan berkebun. Harga sebungkus bibit daun sop sekitar Rp 30.000-an saja, dengan butiran bibit yang tidak dapat dihitung di dalamnya karena saking banyaknya.

"Satu pot, ditanam empat sampai lima butir saja, Kak."

Itu saran Cahyadi. Tapi saya bandel, menanam lebih dari sepuluh butir dalam satu pot!

Duabelas pot bibit daun sop itu sudah nangkring di teras rumah menunggu waktu berjalan untuk bibitnya tumbuh. Waktu yang saya butuhkan sangat lama ... sampai-sampai saya berpikir bahwa daun sop ini enggan tumbuh, berkembang, mengenal dunia, dan berakhir di panci! Tetapi pada bulan ketiga, mulai muncul satu per satu si daun sop; mungil dan rapuh *tsah*. Semangat saya membara. Belum apa-apa sudah memotret pot-pot daun sop mungil itu dengan kalimat: daun sop tumbuh dari 12 pot, hidup 10 pot. Tidak disangka narsis yang terlalu prematur itu membikin Mami Ocha (Rosalin Togo) yang saat itu masih di Yogyakarta mengirimkan saya bibit-bibit tanaman: daun sop, tomat, cabe, dan bayam merah!



Awwwww! Saya kegirangan.

Sayangnya ... sayangnya ... bayam merah dan tomat yang sudah berbunga tewas diserang hama. Apalah saya yang tidak punya pengalaman berkebun ini. Sedih? Iya, bahkan meskipun sudah saya ajak mengobrol bayam merah dan tomatnya, mereka sudah pasrah tidak mau melanjutkan hidup. Ah ... sedih sekali. Sama rekannya Cahyadi saya diberitahu beberapa obat racikan sendiri untuk mengusir hama dan untuk menyuburkan tanaman. Jika bayam merah dan tomat mengalami nasib yang naas, maka berbeda dengan cabenya.

Cabe-cabeannya tumbuh subur. Bahkan saking suburnya saya pindahkan lagi ke pot-pot besar alias dipisah-pisah agar mereka punya ruang yang lebih luas untuk tumbuh, kembang, mengenal dunia, dan berakhir di cobek. 



Saat ini daun sop-nya sudah lama berakhir di panci orang lain karena diminta sama saudara dan teman (mengangkut sekalian dengan pot semainya hahaha), sedangkan cabenya masih bertengger manis menggiurkan di teras rumah, bersanding dengan mawar, kaktus, cocor bebek, dan lidah buaya. Pot-potnya kadang saya pindahkan sekadar mengganti suasana, dan agar para tanaman saling mengenal satu sama lain. Haha.



Ada yang bingung melihat teras rumah saya. Bagaimana bisa cabe dan daun sop bersanding dengan mawar dan lainnya? Ah, santai saja. Saya pikir itu lebih indah kok. Lebih berwarna dan berfaedah.

Untuk kebutuhan di dalam rumah sendiri alias kebutuhan rumah tangga, cabe-cabe saya yang disebut cabe ijo atau lombok tokek itu masih sangat menolong apabila kehabisan cabe. Ikan goreng yang masih panas memang paling enak dicocol cabe rumahan yang hanya terdiri dari cabe ijo + garam + sedikit micin (yaaah generasi micin! :p). Rasanya lebih enak, mungkin karena cabe dari hasil menanam sendiri kan ya. Tapi apabila ada teman-teman yang datang dan kami menggoreng pisang dalam jumlah banyak maka cabenya dibeli saja di pasar hihihi.

Jadi, sudah paham dari pos ini kan? Jika kita mau mencoba, maka semua bisa terjadi atas ijin Allah SWT. Misalnya daun sop dan cabe ini. Murah, sedikit rajin menyiram dan merawat, dan nikmati hasilnya dalam skala rumah tangga. Kenapa tidak? Ketimbang pusing sama harga cabe atau tak-tik penjual di pasar. Iya kan? Hehehe. Cobain deh tanam sendiri dan rasakan sensasinya *duh*.

Dalam waktu dekat saya hendak membeli pot-pot lagi (karena botol plastik bekas air mineral sudah ludes terpakai) untuk menanam beberapa tanaman berfaedah seperti jahe, kunyit, kumis kucing, dan lain sebagainya. Sedang mencari bibit-bibitnya/anakannya. Semoga dapat terealisasi ya.

Doakan sayaaaaaaa :)


Cheers.

8 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. duuh aku pengen kayak gituuu, sempet nyimpenin cabe2 yg udah kering eeeh tiba2 dibuang dong sama suami huhuhuhu, seledri, daun bawang pun gitu... kalau aku ngga ada di rumah dibuang suami hiks, harus ditempelin tulisan JANGAN DIBUANG MAU DITANEM kayaknya gitu deh, padahal kan lumayan kalau ngga usah beli cabe, seledri & daun bawang lagi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi saya belum pernah coba kalau tanam dari biji cabe yang sudah kering, tapi beli bibitnya di toko. Nanti mau coba ah hehehe. Iya kakak, meskipun terlihat sederhana tapi lumayan membantu, apalagi ada seledri dan daun bawang pulak ... bikin dadar telur ala martabak begitu maknyus!

      Hapus
  2. mantap.... sekarang ijo semua keliatannya beb, kalau deket deket sama cabe bawaannya pengen bikin rujak belimbing, apalagi kalau siang siang hihihi,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rujaaaaakkkk! Mau mau mau! Hehehe. Kalau ngerujak, bagi-bagi lah ke saya :D

      Hapus
    2. mau sih bagi cuman jauhnya itu yang gak ketulungan beb.. xixixi

      Hapus
  3. semoga segera terlaksana ya tante, sempet sedikit senyum waktu sampai pada paragraf yang ada kata cabe-cabe an dan di coret hihi..

    Hm.. sepertinya mamak saya ada temennya ya pasalnya beliau juga punya hobi yang sama yaitu menanam bunga di teras rumah, termasuk cabe rawit juga ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haahahaaa salam untuk Mamaknya yaaaa ... kita sehati :D

      Hapus
  4. Itu lidah mertua seriusan ada tanaman yang , hehe..

    Tapi bagus bangat mah kalo di pekarangan bnyak tanaman, selain segar bisa juga digunakan untuk keperluan sehari2

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak