#PDL Unique Place

Pohon di salah satu titik menuju Nangapanda.

Suka jalan, kaki kereta, menjadikan saya orang yang sulit ditebak. Kadang saya rela menunggu teman-teman seperjalanan. Kadang saya terlalu bosan menunggu sehingga akhirnya tancap gas sendirian. Seperti yang terjadi akhir tahun lalu waktu saya cuti. Saking lamanya di dalam rumah, bosan mendera dahsyat. Rencana jalan sama Ngiung-Ngiung dan teman-teman lain, juga si Thika, tapi karena satu dan lain hal, saya memutuskan untuk tancap gas duluan. Padahal, Kampung Adat Bena itu sangat jauh dari Kota Ende. Biarlah, kalaupun sepeda motor saya ngadat di tengah jalan, tinggal cegat bis dan pulang ke Ende. Ketimbang motornya saya pikul? 😊

Dalam perjalanan penuh rasa ngambek itu, saya hanya bertahan pada 40 sampai 60 km/jam. Tidak seperti biasanya. Memang. Saya ingin menikmati, lebih menikmati pesona alam Flores yang luar biasa ini. Karena jalan sendiri, saya lebih leluasa untuk mampir/berhenti di beberapa tempat untuk sekadar foto-foto atau bertegur sapa dengan penduduk yang ada di sekitar. Sempat mampir di Bukit Marsel (sesuai nama bupati) dengan pemandangan dari atas bukit yang awesome sekali. Saat mampir di sebuah bukit dengan tekstur bak kue lapis, saya menemukan pohon ini. Pohon dengan tawaran menu khas yang dipaku (sayang ya) di pokok pohon (silahkan lihat foto di atas). Tempat-tempat mampir seperti ini sangat banyak sepanjang perjalanan lintas kabupaten di Pulau Flores. Waktu itu saya tolah-toleh mencari lapaknya, ternyata hari itu tidak dibuka. Tapi saya sempatkan untuk memotret si pohon agar tidak merasa terabaikan hahaha.

Perjalanan solo masih saya lanjutkan hingga tiba di puncak Nangaroro. Di sana ada lapak bagus, semacam saung mini di atas tebing yang muat 4 sampai 6 orang saja. Biaya masuk Rp 3.000 saja. Dari saung ini kita dapat melihat laut lepas dan Pulau Ende. Menarik sekali. Pada pemilik saung saya memesan kopi susu dan mi instan yang nge-pop itu. Rasa kopi susunya jangan ditanya. Sadaaaap sekali. Sekitar tigapuluh menit kemudian saya melanjutkan perjalanan ke arah Barat. Sempat juga mampir di kios buat beli air minum. Ngobrol sebentar sama pemilik kios, gas motor saya tarik kembali. Sampai kemudian, mendekati Aigela, saya bertemu rombongan Ngiung-Ngiung yang menyusul. Dengan wajah malu-malu akhirnya saya pun naik ke boncengan Ngiung-Ngiung sedangkan sepeda motor saya dikendarai sama Awi.

Hari itu, kami tiba di Kampung Adat Bena menjelang shalat Ashar dan baru kembali ke Ende setelah hari hampir gelap.

Nekat?

Iya, itu nekat. Manapula suhu bisa bikin beku.

Pernah, saya pernah begitu. Menjadi orang yang tidak bisa diprediksi kapan mau jalan, kapan tidak. Tapi saya menikmati semua itu dengan gembira.

Kalian pernah? Share yuk.

Salam kaki kereta!

2 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Jadi kalo jalan2 ke Ende nggak perlu takut kelaparan ya mbak....banyak penjual makanan dgn harga yg terjangkau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali mas Aris. Di pinggir jalan itu banyak saung-saung yang bisa jadi tempat istirahat sejenak melemaskan pinggang hahaha :D

      Hapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak