Samudera Cinta Ikan Paus

Bara dan bukunya "Samudera Cinta Ikan Paus"
Gambar diambil dari Sini.

Suatu hari saya diperkenalkan dengan seorang laki-laki berpenampilan menarik, dan berpostur tegap layaknya olahragawan, oleh keponakan saya, Azrul. Mereka datang ke ruang kerja saya untuk bertemu Pak Yohanes Sehandi, Kepala Lembaga Publikasi. Awalnya saya terkejut, merasa sedang bertemu dengan seorang chef ternama Indonesia. Ternyata nama mereka saja yang mirip. Bila chef ternama itu bernama Bara Pattirajawane, maka laki-laki ini bernama Bara Pattyradja. Sudah lama saya mendengar namanya, baru hari itu saya bertemu langsung dengannya. Tetapi kami hanya sekadar bertemu karena dia masih punya urusan lain dengan beberapa orang di kampus.

Next, ketika saya tidak ikut berangkat ke Pulau Adonara dalam kegiatan Dokar Uniflor, saya diberi oleh-oleh oleh Pak Mukhlis, seorang dosen Fakultas Teknik (Arsitektur). "Kak Tuteh, ini buku untuk Kakak. Saya tidak biasa baca buku puisi ... pasti Kakak suka." Dan buku itu adalah buku yang pernah saya lihat tetapi saya belum memilikinya. Judulnya "Samudera Cinta Ikan Paus", karya Bara Pattyradja. Saya langsung meloncat kegirangan! Ya, berikan saya sebuah buku ketimbang sekardus cokelat #eh hahaha.

Untuk melahap buku ini bukan perkara mudah soalnya masih ada tumpukan buku lain yang menunggu dengan cantiknya di atas meja. Apalagi saya mendapat buku-buku tulisan Ustadz Felix Siauw dari Yanuar Al, dan membeli beberapa buku di Gramedia (perpanjangan tangan dari Gramedia Maumere) Ende. Tetapi bila secara marathon saya membaca semua buku si ustadz, maka tentu akan bosan juga. Maka saya memutuskan untuk bijaksana. Satu buku ustadz, dan beberapa buku lain, untuk kemudian kembali membaca buku si ustadz. Cukup adil bagi otak saya. Saya rasa demikian :)

"Samudera Cinta Ikan Paus". Bagi saya, buku ini tidak sekadar berisi barisan kata yang kita sebut puisi. Sejak kecil, sejak belum sekolah, saya sudah berkenalan dengan puisi, membaca ratusan puisi, dan 'membentuk' ratusan puisi. Saya punya apresiasi yang tinggi terhadap buku "Samudera Cinta Ikan Paus" karena pilihan kata si penulis. Bara mampu meramu apa yang tidak terpikirkan oleh benak saya sebelumnya. Kata-kata pilihannya itu menurut saya sangat unik tapi tidak berat (ya, beberapa penulis memilih kata-kata yang unik yang bahkan saya sendiri tidak memahaminya, hahaha). Bara punya bakat luar biasa untuk hal yang satu ini.


Puisi Bara, unik dan sederhana, tetapi 'menikam'.

Puisi-puisi di dalam "Samudera Cinta Ikan Paus", menurut kacamata saya, merupakan apresiasi kecintaan Bara pada tanah kelahiran, tanah leluhur. Lamahala, Flores Timur, tempat itu mendominasi buku ini. Judulnya saja ada 'ikan paus'-nya, teman. Ikon wisata alam dan tradisi di sana. Tapi cinta, ya ... cinta ... masih menjadi topik utama yang tak pernah selesai dipuisikan. 'Sketsa Kelahiran', dan 'Adonara, Tanah Mahar Gading Tapi Tak Pernah Lahirkan Gajah', adalah dua puisi yang mengangkat tanah kelahiran Bara.

Salah satu puisi yang menjadi favorit saya berjudul 'Di Bawah Kibaran Rok Payungmu'.

berjalanlah dengan diam, ea
akan kueja warna takdir
di bawah kibaran rok
payungmu

dan takdir seperti kamus matematika

yang buntu. seperti hatimu
yang patah dikhianati
angka-angka ganjil
saat menggenggam honor

kau tau?

sekolah memang tak mengenal cinta
dan ampun
sekolah tak mengajarkan
harga hati manusia

ada hanya sepotong angan

yang bunting
dihamili kering cuaca

[from, Di Bawah Rok Payungmu]



Saya suka. Tepatnya, saya terharu.

Bagaimana uniknya seorang Bara memadukan 'bunting' dan 'cuaca' pada puisi di atas? Bagaimana bisa? Dan dia bisa. Dia bisa! Dia mampu berpikir sampai ke sana! Dan saat membacanya dalam hening di kamar saya yang bau tembakau, saya spontan berteriak sekencang-kencangnya : SOMPRET! Bukan karena marah, tapi karena kagum. Ya, kadang-kadang kita punya pilihan kata sendiri untuk mengapresiasikan sesuatu bukan?

Bagi kalian yang suka puisi (membaca, menulis), buku ini layak dibaca. Setidaknya akan memperkaya khasanah sastra di dalam benak kita bukan?


"Samudera Cinta Ikan Paus" diakhiri dengan puisi berjudul 'Wasiat'. Dan buku ini menjadi buku ke-9 yang saya baca untuk tantangan membaca 50 buku untuk tahun 2014 yang saya buat sendiri di Goodreads. Sayangnya, buku ini belum masuk ke database Goodreads. Seseorang harus memasukkannya. Hehehe.

#BacaBuku
#BudayaMembaca

Selamat membaca, teman!


Wassalam.

11 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Wah... saya turut mengapresiasi kata-kata dari mas bara.. bagus banget.
    saya juga punya Hobi merabu Puisi.. biasa nya sih, pas selesai belajar kalau ada Mood. hehe

    BalasHapus
  2. @Farizalfa : hehehe sama donk dengan saya :D *toss!* btw terima kasih sudah mampir ke sini :D

    BalasHapus
  3. kapan2 aku kasih hadiah buku tabungan aja ke tuteh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaa boleeeh... saya terima dengan tangan terbuka :D hahaha... nanti isinya yg banyak, mas, supaya bacanya lama ;)) Lol

      Hapus
  4. Haduh sampai sekarang kok tidak ngerti puisi ya :(

    BalasHapus
  5. mantap gan (y) Keep posting!
    Kumpulan Cerita Dewasa Terbaru

    BalasHapus
  6. Beruntung punya saudara yg baik, mau ngasih buju. Hahaha

    Kalau membaca penggalan puisinya, orangnya unik keknya ya, Ka. . .

    BalasHapus
  7. Bara dan kata yang selalu membara....heheheheheh

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak