Antara Pengakuan Sosial dan Yuridis



Perkampungan adat Suku Lio.
Gambar diambil dari sini.


#LatePost

“Kenapa harus ada Ranperda tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat? Masyarakat adat sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum Negara Indonesia merdeka. Tanpa diakui atau dilindungi mereka merupakan bagian dari negara ini.”

Kalimat di atas diungkapkan oleh seorang sejarahwan, budayawan, dan seniman besar Kota Ende: Opa Yakobus Ari. Ah, beruntungnya saya masih bisa mengenal beliau meski tidak seakrab orang lain. Oh ya, pendapat Opa di atas merupakan tanggapan (ya, saya menulisnya tanggapan) atas paparan naskah akademik Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Di Kabupaten Ende dalam sebuah FGD yang digelar di Lantai II Kantor Bupati Ende. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama antara Fakultas Hukum Universitas Flores (Uniflor) dengan DPRD Kabupaten Ende. Dan dalam penelitiannya tim penyusun naskah akademik bekerjasama dengan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) - Ende.

Menjawab tanggapan Opa, Ibu Ernesta Arita Ari (ya, beliau adalah salah seorang anaknya Opa yang menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Flores), berkata, “secara sosial hak-hak masyarakat adat memang diakui tapi bagaimana dengan pengakuan secara yuridis?” Dan Ibu Nesta menjelaskan sebuah perbandingan yang-saya-lupa-tentang-apa namun saya coba membuat perbandingan saya sendiri => sejak lahir saya adalah anak dari Asmady Pharmantara dan Siti Fatimah. Semua orang juga tahu! Semua orang juga mengakuinya! Tapi kenapa harus ada Akta Kelahiran? Karena Akta Kelahiran merupakan pengakuan secara yuridis bahwa saya adalah anak dari kedua orangtua saya.

FGD yang dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat, stake holder, aktifis, bahkan mahasiswa tersebut berlangsung alot. Dua narasumber utama Romo Feri Dhae dan Bapak Philipus Kami memberikan begitu banyak informasi terkait naskah akademik tersebut. Saya sendiri merasa diserang pengetahuan demi pengetahuan baru ... tentang hamente dan nama Nage serta Keo ... misalnya. Atau tentang satu etnis yang diyakini harus diakui yaitu Etnis Nage (selama ini ada dua etnis di Kabupaten Ende yaitu Etnis Ende dan Etnis Lio). Nah! Seru sekali. Apalagi mendengar penjelasan dari Romo Feri, “tidak ada Etnis Nage. Kalau jadi sub-etnis mungkin bisa. Karena Etnis Nage yang dibicarakan ini punya kesamaan dengan Etnis Ende dan Etnis Lio secara budaya, adat-istiadat, dan bahasa.”

Di luar dari semua pendapat para ahli tentang etnis, atau tentang pembagian wilayah, dan lain-lainnya, bagi saya hak-hak masyarakat adat memang perlu dilindungi dengan adanya sebuah Perda. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kalimat yang saya tegaskan ‘sepanjang masih hidup’ bisa menjadi boomerang namun bisa juga memotivasi. Maksud saya dengan motivasi adalah dengan adanya ‘sepanjang masih hidup’ artinya masyarakat hukum adat tersebut jelas harus berupaya menjaga eksistensinya agar terus dianggap ‘hidup’ oleh negara. Jika tidak ... ya, Wassalam. Dan untuk menjaganya mereka pun butuh sebuah peraturan yang tegas agar hak-hak mereka tidak dikebiri oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Kembali pada judul postingan ini: Antara Pengakuan Sosial dan Yuridis. Saya jadi ingat mata kuliah Hukum Perikatan. Perjanjian lisan itu diakui di seluruh dunia tapi alangkah baiknya, untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan di kemudian hari, harus ada perjanjian tertulisnya alias hitam di atas putih. Demikian pula dengan hak-hak masyarakat adat kita. Dengan adanya Ranperda, kelak anak cucu cicit kita akan mengingat budaya dan tradisi mereka. Di tengah dunia yang semakin bergairah ke arah ‘meninggalkan yang tradisional’ masyarakat hukum adat merupakan pewaris budaya dan norma-norma leluhur yang patut kita jaga bersama. Jangan sampai deh besok-besok cicit saya malah tidak tahu apa itu mosalaki, apa itu sa’o ria, apa itu gawi, apa itu pati ka ata mata, dan lain-lainnya.

Tanggal 4 November nanti kita tunggu gelaran tiga Ranperda yang sukses disusun oleh tim-tim yang terdiri dari para dosen Fakultas Hukum Universitas Flores.

Bravo!

Wassalam.

2 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Memangnya apa itu mosalaki, apa itu sa’o ria, apa itu gawi, apa itu pati ka ata mata?

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak