Pernikahan Iwan dan Reni (Keponakan saya).
Paling kiri : Kak Ninik dengan Lawo Lambu, khas Ende.
Kedua dari kanan : Reni dengan Lawo Lambu modifikasi.
Ohya, paling kanan itu Kak Didi (Kakak saya yang paliiiiing :D)
Saya menyebutnya karya jenius dari NTT. Proses untuk menjadikannya lembaran-lembaran cantik tidak bisa dibilang mudah. Dalam sejarahnya tenun ikat di Kabupaten Ende (dari buku Pariwisata yang saya baca), orang dulu menggunakan kulit pohon sebagai penutup tubuh. Digivolve (apa coba :p), maksud saya metamorfosis yang signifikan menjadikannya terlihat seperti sekarang ini.
Tanggal ini, 2 Oktober 2013, Indonesia merayakan Hari Batik. Hampir semua Orang Indonesia mengenakan pakaian berbahan kain batik beragam corak. Saya bilang hampir semua karena ada Orang Indonesia yang hari ini tidak mengenakan pakaian berbahan kain batik, salah satunya saya. Alasannya? Karena hari ini saya diijinkan bekerja dari rumah untuk proyek video profile Uniflor *ngikik* Lagipula peraturan di kantor saya tidak ada satu pun yang menyatakan WAJIB MEMAKAI BATIK PADA TANGGAL 2 OKTOBER. Aturan pakaian kerja kami adalah : Batik Yayasan pada Hari Senin, kemeja berkerah pada hari Selasa - Kamis, kaos berkerah pada hari Jumat, pakaian bebas rapi pada hari Sabtu (yang pada Sabtu saya memilih kaos trendi *halah*).
Pada kesempatan ini saya mengacungkan jempol pada Pemda Ende yang menerapkan aturan bagi karyawan/karyawati yaitu : wajib mengenakan pakaian adat Ende pada Hari Senin pertama dalam satu bulan (laki-laki mengenakan Luka Lesu dan perempuan mengenakan Lawo Lambu), dan wajib mengenakan atasan (kemeja, atau stelan bagi perempuan) berbahan tenun ikat setiap Hari Kamis. Kecintaan pada daerah kita dapat berwujud macam-macam bukan? Diantaranya mengenakan tenun ikat dalam berbagai kegiatan.
Di Indonesia ada 2 tenunan khas yang memiliki keunikan : dapat dibolak-balik tanpa ketahuan mana bagian dalam dan mana bagian luar. Dua tenunan khas itu adalah TENUN IKAT dan SONGKET. Di Indonesia ada puluhan pakaian adat pula yang dapat dikenakan pada hari-hari tertentu tak menunggu event. Bila batik menjadi salah satu yang dijadikan momen khusus pada tanggal 2 Oktober, itu bukan menjadi alasan kita untuk tidak memperkenalkan tenun ikat pada dunia.
Mari saya perkenalkan cara membuat tenun ikat. Prosesnya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Saya padukan dengan informasi dari Wikipedia.
Proses Menenun
Jaman dulu belum dijual benang untuk tenun ikat. Langkah pertama yang dilakukan oleh penenun adalah menyiapkan kapas yang hendak dipakai. Kapas diambil dari kebun mereka sendiri (jadi ingat pohon kepok di samping rumah yang telah tumbang). Kapas dipintal dengan alat tradisional. Waktu itu masyarakat tidak menggunakan benang yang dijual di toko.
Hasil dari pemintalan biasanya tidak terlalu halus dan dan berakibat
hasil yang tidak simetris pada corak tenun. Meski begitu hal itu yang
menyebabkan keunikan tiap tenun sebab tidak ada tenun yang identik sama.
Sesudah proses memintal selesai maka dilanjutkan dengan pencelupan
benang pada pewarna. Meski tidak semua proses pewarnaan dilakukan ketika
masih dalam bentuk benang namun pada umumnya pewarnaan dilakukan
sebelum proses menenun. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan daun “Ru
Dao” untuk mendapatkan warna nila dan akar pohon “Ka’bo” untuk mendapat
warna merah, warna kuning didapat menggunakan kunyit dan daun “Menkude”.
Setelah warna meresap dan dibiarkan mengering baru diikat pada mesin
tenun tradisional yang dalam bahasa setempat disebut “Lana Her’ru”.
Tidak seperti pada tenunan yang umum dijumpai di Indonesia dimana yang
diikat pada mesin tenun ialah benang pakan, namun pada tenunan Nusa
Tenggara Timur yang diikat ialah benang lungsin. Benang pakan dimasukan
secara horizontal terhadap benang lungsin yang telah diikat secara
vertical.
Kini proses membuat tenun ikat jauh lebih mudah meski dengan alat tenun yang tetap sederhana/tradisional. Para penenun dapat membeli benang di toko : warna putih, kuning, hitam. Kemudian juga membeli pewarna, satu dua penenun masih menggunakan pewarna asli dari tumbuhan. Proses selanjutnya kurang lebih sama. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk satu lembar tenun ikat tergantung ketelatenan penenun. Antara 1 - 3 bulan. Bayangkan betapa pinggang mereka begitu kuat karena saat menenun pinggang mereka 'menyatu' dengan alat tenun tradisional tersebut. Tenun ikat ini nantinya bisa pula dimodifikasi menjadi baju, tas, topi, dompet, gantungan kunci, sandal, sepatu, dan lain-lain.
Jenius. Corak tenun ikat dan cara membuatnya itu jenius. Hebatnya lagi dapat dipakai bolak-balik alias tidak ketahuan mana bagian dalam dan mana bagian luar. Keren bukan?
Pertanyaan saya sekarang; kapan tenun ikat diekspos besar-besaran? Tak hanya menjadi oleh-oleh 'mini' ketika para pelancong datang ke NTT. Selain saya, kita, tentu dibutuhkan kekuatan pihak lain untuk dapat mewujudkannya. Amin.
Tidak berharap banyak, apalagi berharap akan ada 'Tenun Ikat's Day'. Tetapi setidaknya anak NTT harus memulai. Mulai mencintai tenun ikat karya daerahnya sendiri. WAJIB!
Wassalam.
Asyik.. baca juga saya pung tulisan kaka.
BalasHapushttp://pangeranrajawawo.blogspot.com/2013/10/zawo-ende-ntt.html
Hihihi iyaaaa... wah kita kompak donk postingnya :D komen di blognya Djho aaaah! :D
Hapusah sa kira foto tuteh nikah *dijambak*
BalasHapustapi tenun ikatnya cantik sekali
<-- lagi menanti-nanti hari tenun nasional :3
BalasHapussaya punya tenun juga kak, tapi sekarang su tidak pas lagi hehehe, mau bikin rompi tenun sa :D
panas gak tuh tenun ikat kalo dipake buat baju kerja? :)
BalasHapusPertanyaan yang sama dengan om Bisot, panas ngga bahannya kalau dibuat baju? Atau rok panjang?
BalasHapusIya, aturan ini juga berlaku dikantor, setiap Kamis harus pake kain tenun. Tapi kebayang gak panas dan tebalnya kain itu, dan satu hal lagi bagi saya itu kurang fleksibel jika dipakai bekerja terutama tipe pekerja seperti saya. Tapi saya senang menggunakannya jika ke acara pernikahan diluar Flores, orang pasti akan2 bertanya-tanya tentang motif kain ini. :>)
BalasHapus