Bermuka Dua; Bertopeng

 Topeng, Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah

*mendengarkan suara kipas angin mungil yang riuhnya persis raksasa sedang bersendawa*

Dunia-dunia ini sama saja. Dunia ini, dunia itu, dunia sini, dunia sana, banyak manusia bertopeng. Menurut pendapat #Monyonglogi saya, para manusia bertopeng ini adalah manusia yang kuatir akan sesuatu. Kuatir kehilangan kesempatan (padahal kesempatan datangnya dari Allah SWT, bukan dari manusia lainnya), kuatir kehilangan nama (tolong yaaaa nama samarannya diperbanyak), kuatir kehilangan perhatian dari manusia lainnya (so what?), dan yang paling mengerikan adalah kuatir tidak dapat keuntungan materi.

Manusia bermuka dua. Apakah di gundukan besar itu mereka hidup dengan ketakutan akan hal-hal remeh seperti ini?

Ada apa? Kenapa harus mengenakan topeng? Sulit kah menjadi orang yang jujur? Atau, setidaknya, sulitkah menjadi orang yang bijak saat diberi kesempatan menanggung-jawabi hal yang lebih besar? Kenapa justru menebar bibit busuk dan berbau? Tahukah efeknya? Manusia-manusia bertopeng tak tahu efeknya, barangkali, bahwa kebenaran dan ketulusan tidak pernah dapat digeser oleh kepongahan dan fitnah. Bahwa ketika manusia bertopeng mulai beraksi; neraka dan surga itu ada kok. *gile, mulai religus saya, hahaha*

Adalah sifat dasar saya untuk tidak pandai memakai topeng. Ketika tidak suka, ya tidak suka. Saya merasa hina ketika bermanis mulut di depan orang yang jelas-jelas memakai topeng lebih dari empat lapis. Emangnya kenapa saya harus bermulut manis dengan orang yang jelas-jelas memakai topeng dan menebar fitnah tentang saya? Kenapa, hah? Kenapa? *mencak-mencak laptop* :p huehuehue.

Dan yang semakin membuat saya agak ngeri adalah ... manusia lainnya (yang mungkin memakai topeng, mungkin juga tidak) terbawa arus. Mentah-mentah mereka percaya, mentah-mentah mereka melakukan reaksi, mentah-mentah mereka makan ikan mentah yang sudah dihinggapi ulat itu. Lantas saya ... ngapain saya? Aaaah biasa saja. Toh saya cari makan sendiri, tak pernah menadah tangan ke mereka, bahkan mereka yang pernah saya tolong. Toh saya juga bernafas sendiri, tak pernah ada yang ngasih bantuan nafas buat saya. Toh semua itu justru menjadi boomerang untuk manusia-manusia bertopeng dan kroni-kroni-nya atau sahabat bergosipnya *bwihik*

*kemudian ada kokok ayam*

Aaaaah sudahlah *kata Babe* 

Mungkin memang benar. Kehidupan gaya-gayaan itu telah membuat manusia-manusia bertopeng menjadi manusia yang tidak berkepribadian dan masuk keluar geng mafia. Sementara saya dan sahabat-sahabat yang menetap di gundukan yang lebih kecil lebih memaknai tentang sesuatu yang kami sebut; cinta, tulus, pribadi yang kuat dan berprinsip, dan tanggung jawab. Mungkin karena darah kami adalah darah timur yang garang. Huehuehue. Ini semakin tidak jelas arah tulisannya.

*kemudian kokok ayam tambah sering... ternyata sudah hampir jam 4 pagi*

Ya sudah *garuk-garuk kepala* mungkin besok saya keramas saja supaya cara berpikir saya lebih jernih huehueheue.

*beneran sudah pagi, terdengar kepok-kepok suara pedagang daging babi di Jalan Irianjaya mulai bekerja*


Wassalam.

1 Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

  1. Aaaah masih jagoan oom Didik Nini Thowok, beliau jagonya seribu topeng... malahan jadi mendunia gegara "topeng"nys

    Salam topeng
    dari Pahlawan bertopeng
    *knapa mendadak jadi kangen shincan :p

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak