Cancel Culture dan Boikot

 


Mulai tertarik dengan istilah cancel culture saat dua penyanyi muda Tri Suaka dan Zinidin Zidan tersandung kasus terhadap penyanyi Andika Mahesa atau dikenal dengan Andika Kangen Band (vokalis). Padahal mereka sangat bertalenta. Menonton video di Youtube, saya pikir keduanya bakal meroket tanpa obstable. Tapi tingkah keduanya di video tersebut memang kurang sopan. Mereka lantas di-cancel. Tapi perlu diketahui, cancel culture sudah lama terjadi di internet. Tri Suaka dan Zinidin Zidan bukan yang paling pertama di-cancel.

Asyik nih, Nostalgia Alanis.

Apa sebenarnya cancel culture itu?

Sebelumnya, harus tahu dulu soal boikot. Boikot atau pemulauan adalah tindakan untuk tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau suatu organisasi sebagai wujud protes atau sebagai suatu bentuk pemaksaan [Wikipedia]. Danone Aqua pernah diboikot gara-gara Presiden Perancis Emmanuel Macron mendukung seorang guru yang menampilkan karikatur Nabi Muhammad SAW dan menyebutnya sebagai kebebasan berekspresi. Danone Aqua ikut kena imbas karena disebut-sebut sebagai salah satu produk Prancis.

Kasus boikot lainnya adalah Sari Roti. Gara-gara salah seorang penjual roti keliling (hawker tricycle) menjual roti tersebut saat terjadi demo 212, di mana ada tulisan 'gratis untuk mujahid', maka PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. melakukan klarifikasi bahwa pihaknya tidak terkait dengan pembagian roti gratis tersebut. Hal ini menimbulkan luka dan menyebabkan boikot tersebut terjadi. 

Tapi kita tahu, dua boikot di atas tidak membikin dua perusahaan besar gulung tikar. Mereka tetap berjaya sampai saat ini

Cancel culture. Ini yang menjadi topik utama kali ini. Cancel culture, atau budaya pengenyahan, merupakan wacana atau fenomena yang lahir di internet. Budaya pengenyahan, budaya penolakan, atau boikot massal (bahasa Inggris: cancel culture, call-out culture) adalah sebuah bentuk ostrakisme modern di mana seseorang dikeluarkan dari lingkaran sosial atau profesional baik secara daring di media sosial, di dunia nyata, atau keduanya. Mereka yang menjadi subjek pada ostrakisme ini dianggap "dienyahkan" [Wikipedia].

Jadi cancel culture mirip lah dengan boikot, tapi lahirnya di internet, dan agak lebih kejam karena keterbukaan informasi di mana netizen bisa langsung dapat informasinya sekejap waktu. Boikot umumnya dilakukan pada produk-produk tertentu (umumnya ya), sedangkan cancel culture dilakukan terhadap orang/manusia.

Di dunia internet, cancel culture dilakukan dengan meng-unfollow, block, mute, atau bikin kampanye-kampanye agar lebih banyak lagi orang yang meng-cancel sosok tersebut. Biasanya dilakukan terhadap public figure, atau orang terkenal. Misalnya ... ingat, ini hanya pengandaian ... kasus penamparan oleh Will Smith terhadap Chris Rock saat ajang Piala Oscar itu. Tindakan Will Smith bisa saja menyebabkan cancel culture terhadapnya. Yang nyata juga ada, macam Ferdian Paleka yang nge-prank transgender itu. Hilang sudah Ferdian Paleka dari peredaran.

Tapi, cancel culture ini bisa jadi pisau bermata dua. Bisa membikin orang hancur, bisa juga membikin orang bersinar. Nanti ya kita bahas ini.

Keren nih Music From Youtube.

Cancel culture sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja. Namun public figure tentu mendapat perhatian utama karena mereka terkenal. Tindakan mereka, ucapan/pendapat mereka, bisa menjadi bumerang. Kalau sudah begitu, mereka tentu juga merugi. Tidak hanya media sosial mereka yang diserang, bisa juga misalnya seorang bintang iklan dihentikan dari produk yang sedang dia iklankan. Macam-macam. Tapi yang jelas, kita semua memang perlu untuk berhati-hati dalam bertindak dan berucap. 

Semoga bermanfaat.

Cheers.

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak