Triplet ~ Part 9



Triplet adalah tulisan lawas saya yang tidak diterbitkan dalam bentuk buku karena ceritanya lumayan absurd. Saya memutuskan untuk menerbitkannya di blog, part demi part. Karena keabsurdannya, komentar kalian tidak akan saya tanggapi kecuali buat lucu-lucuan. Ini bukan pembelaan diri, ini bela diri dengan jurus menghindar. Selamat membaca Triplet.

***

PART 9


~ Jakarta ~
8 Februari 2015

“Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah. Hidup adalah sebuah nyanyian, maka nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah. Hidup adalah cinta, maka nikmatilah.” – Bhagawan Sri Sthya Sai Baba.

Tigabelas Maret Duaribu Tigabelas.
Setiap hari ingatan-ingatannya berlomba mencapai garis akhir. Selalu ingatan tentang hari ketika harga dirinya diperkosa mengungguli yang lain. Kalaupun ada ingatan lain yang hendak mendahului, dengan berbagai cara dia akan menghalanginya. Dia sadar. Dia ingin. Kesumatnya harus dipupuk. Dengan cara ini dia bahagia.
Dia mencintai kegelapan. Pada awal mula persetubuhannya bersama sang gelap menuai pertentangan namun hanya sebentar masa. Bukan karena gigih, bukan pula karena beringas, yang membawanya duduk di kursi pemenang usai memerangi pertentangan—bukankah aku kalah suara? Diam. Beku. Aku ingin mengkristal—barangkali bisa. Persetubuhan bersama sang gelap adalah candu. Dari hari ke hari dia tidak ingin menolak dorongan hasrat bersama sang gelap karena persetubuhan mereka merupakan kenikmatan tertinggi yang diraihnya saat ini. Gelap yang mandul tidak sanggup membenihinya. Dia tidak akan hamil—untuk kemudian mempermalui diri sendiri.
Keputusan Cleopatra untuk bunuh diri nampaknya lebih didorong oleh rasa malunya karea dijadikan tawanan Roma ketimbang karena rasa sedihnya akibat kematian Marcus Antonius. [Wanita-Wanita Yang Mengubah Dunia, Rosalind Horton & Sally Simmons].
Dia tertawa. Dia pernah menertawai maut yang diusir oleh takdir atau memang demikian lah takdirnya. Sudah dekat, tapi belum cukup dekat. Itu masa sebelum rintihan kenikmatannya bersama sang gelap menggaung pada dinding bunker berkarat. Usai terbirit-biritnya maut, kegelapan menjadi kekasihnya, menjadi satu-satunya yang dia percayai. Karena gelap tidak pernah berjanji apalagi ingkar. Bagaimana bisa ingkar jika tidak pernah berjanji?
Hari ini sang gelap berkhianat. Di mana? Kenapa rupamu berubah? Kegelapan yang ini ibarat kembaran kegelapan miliknya. Yang satu menodai yang lain. Pusaran hitam mendekat, mengajaknya masuk, dan dia tersedot. Utopia. Di mana? Apakah ini maut? Dia menggeleng kuat. Ini juga bukan angkasa raya. Matanya tidak menangkap benda-benda langit barang setitik pun.
“Prita ...”
Perempuan yang dilihatnya ini bukan malaikat. Karena konon ... malaikat mengenakan jubah putih bersayap.
“Tigabelas Maret. Tahun duaribu tigabelas ... Kau sakit, Prita.
Laprita Bachtiar memberontak. Berteriak marah. Dasar pengkhianat! Kegelapan punah. Kembalikan sang gelap milikku! Warna-warna hilang-muncul, kadang bersama, kadang sendiri-sendiri. Perasaannya kini sulit didefenisikan. Ada suara-suara berdesing yang kian lama kian menusuk pendengaran bersamaan deru angin dari barisan pepohonan. Samar dia membaca ...
Tigabelas Maret Duaribu Tigabelas, keparat!
Tubuh Prita ambruk ke atas lantai.
Samar, dan semakin pudar, dia mendengar suara seorang laki-laki menyebut namanya. Lantas gelap kembali menyetubuhinya, mereka bermandi peluh kenikmatan.
x
Setiap hari, sejak darah mengalir deras dari selangkangan Prita dan gumpalan darah berusia enam minggu itu dikebumikan di samping makam eyang kakung dan eyang puteri, Pram ditemani kebencian paling dalam dan paling hitam pada laki-laki itu. Setiap hari, sejak rumah mereka kehilangan tawa nyaring Prita, juga kehilangan koar-koar kemenangan kakak perempuannya yang berlesung pipi itu saat menang taruhan bilyar di Hanakah Bilyar, Pram mencari jejak laki-laki itu. Namun keberadaan dari sosok yang dicari Pram menghilang seumpama pemburu kehilangan jejak kijang yang lenyap tersapu air hujan. Pram bertanya-tanya ke mana kah perginya gerangan si durjana. Begitu lihai bersembunyi sehingga keluarganya sendiri pun hanya mampu memberi jawaban pada Pram dengan gelengan kepala—atau pihak keluarga bertindak heroik untuk melindungi si durjana layaknya saksi kunci FBI yang diselamatkan melalui identitas baru. Tapi Pram tidak pernah berhenti mencari. Mata-matanya selalu siaga. Selalu mencari.
Nggak selamanya kamu bisa terus sembunyi, bangsat!
Awalnya Pram percaya mimpi hanyalah bunga tidur namun ketika perempuan yang sama datang ke dalam mimpinya dua kali pada bulan yang sama, kepercayaannya goyah. Mimpinya bukan sekadar bunga tidur. Mimpinya bukan sekadar kebetulan. Dia menjadi ragu apakah kebetulan memang benar terjadi di dalam hidup manusia atau kebetulan hanyalah kosa kata paling pas untuk dua hal yang berbenturan. Salah satu artikel berbau keagamaan yang dia baca di internet menyebut tentang tidak adanya kebetulan di dalam hidup manusia. Segala sesuatunya, bahkan daun yang gugur dan terpeta di bumi pun telah diatur sedemikian adanya.
Kalau bukan kebetulan, lantas apa? Petunjuk? Petunjuk apa? Satu-satunya petunjuk yang aku butuhkan sekarang hanya keberadaan laki-laki itu. Kehadiran perempuan misterius itu di dalam mimpiku ... dua kali ... kalau itu petunjuk, petunjuk atas apa?
Pram ingat mimpinya tadi malam, mimpi kedua. Mimpi yang hampir sama jelas dengan kenyataan.
x
Cantik. Dia tidak bisa memutuskan mana yang paling cantik. Apakah langit di ufuk yang berwajah separuh mengantuk dengan warna keemasan, atau hijaunya dedaunan pohon-pohon yang berbaris di lereng seumpama serdadu di medan laga, atau perempuan berambut sepinggang yang saat ini sangat tenang berdiri di sampingnya seolah-olah mereka telah lama saling kenal—kecantikan yang samar. Untuk suatu alasan yang dia sendiri tidak tahu dari mana datangnya, dia merindukan suara perempuan ini. Kerinduan yang janggal. Bagaimana dia memanggil perempuan ini? Ingatannya sirna. Perempuan ini pantas dipanggil bidadari, bukan malaikat—karena tak bersayap. Mungkin. Sesaat, pada pertemuan pertama, dia meragu: bidadari atau malaikat? Kesepakatan hatinya datang pada pertemuan kedua. Perempuan ini bidadari.
“Kau minta saya datang … lagi …”
Dia menoleh dan menatap sepasang mata sebening kaca. Elok. Jelas mereka pernah bertemu. Bila tidak, dari mana datangnya kerinduan untuk mendengar suara sang bidadari? Benarkah dia telah meminta bidadari ini datang lagi?
“Kau percaya?”
“…”
Apa yang harus aku percayai? Bahwa Tuhan menjanjikan surga dan neraka?
“Mungkin sekarang kau sudah percaya. Kau harus datang,” ujar bidadari. Gerakannya luwes, langkahnya pelan terarah menuju pagar pembatas. Angin menerbangkan helai rambutnya. Di bawah sana dia melihat dua kawah kembar dengan air yang begitu tenang. Tenang seperti mata sang bidadari. Salah satu warna kawah itu hijau tosca, satunya lagi semerah darah.
“Tapi …” dia ingin protes. Tapi kata-kata tertancap di tenggorokan.
“Datanglah!” sebuah paksaan.
Dia menggeleng kepala keras-keras. Suaranya begitu lekat di benak tetapi dia lupa siapa perempuan ini. “Kamu … sebenarnya siapa kamu?”
“Saya? Saya sudah pernah menyebut nama saya saat pertama kali kita bertemu di sini. Di timur.”
“…”
“Kalau kau lupa, saya Sharastha.”
“Sarasta …”
“Saya pamit …”
“Tunggu! Hei! Jangan pergi! Jelaskan apa yang … TUNGGU SARASTA! TUNGGU SAYA!”
Emang mau ke mana, Bang?
“Mau ikut kamu …”
Alaram di kepalanya berdering-dering mengingatkannya untuk kembali pada nyata yang dapat digenggam. Matanya membuka. Hal pertama yang diingatnya adalah wajah perempuan di dalam mimpinya begitu mulus tanpa cela. Kenapa sekarang wajahnya brewokan dengan hidung dihiasi bekas luka memanjang? Rambut perempuan itu panjang sepinggang. Kenapa sekarang berubah pendek dan keriting? Dan aroma—dia tidak yakin aroma tubuh perempuan itu, apakah melati atau anggrek?, kenapa sekarang beraroma keringat bercampur tembakau?
“Abang mimpi, ya?” tanya Karel.
Pram bangkit dari sofa. Sial!
Busyet. Aku mimpi lagi. Mimpi yang sama,” keluh Pram.
Karel, laki-laki asal Nusa Tenggara Timur, tepatnya Pulau Lembata, yang bekerja pada keluarga Bachtiar sebagai sopir dan sejak tadi ditinggal tidur Pram saat mereka sedang menonton pertandingan sepak bola, menepuk kening. “Ada-ada saja, Bang Pram ini. Mau saya ambilkan air minum? Atau beer?” tawar Karel.
“Serius, Karel. Ini mimpi yang sama,” ulang Pram, tak mengindahkan tawaran Karel meski dia memang merasa haus. “Mimpi indah ... tapi buruk.
“Saya bingung. Sebenarnya mimpi Abang ini indah atau buruk? Mimpi indah tapi buruk, atau mimpi buruk tapi indah?” Karel menggaruk bekas luka memanjang di hidungnya.
“Keduanya. Indah dan buruk.”
“Mimpi apa sih, Bang?” tanya Karel. Dia penasaran adakah mimpi indah-dan-buruk dapat masuk ke dalam tidur anak majikannya ini, menerobos kebahagiaan hidupnya.
“Mimpi aneh ...”
“Saya ambilkan Abang air minum dulu.” Karel berlalu ke dapur.
Menit-menit berikutnya kuping Karel patuh mendengar cerita yang tersendat meluncur dari bibir Pram tentang dua mimpinya.
x
Jemari Pram mengepal di sisi kanan-kiri laptop. Pikirannya mengembara pada wajah cantik Prita dan betapa tergila-gilanya perempuan berlesung pipi itu pada si durjana. Cinta sungguh sanggup memberikan tontonan paling menarik. Bagaimana mungkin seorang perempuan cassanova tergila-gila pada lelaki udik yang sama sekali tidak punya prestasi selain kehabisan beras dan terlambat membayar sewa kos? Sekali-dua mengantar dan menjemput Prita di kampus, Pram jengah ditatap sedemikian rupa oleh si durjana. Sekali-dua si durjana bertamu ke rumah mereka, Pram kesal menemukan tatapan yang sama dari si durjana.
Pram memandang hubungan cinta antara Prita dan laki-laki durjana itu, sumpah—dia alergi menyebut namanya, sebagai pelampiasan sebab kandasnya semua mimpi tentang rumah tangga bersama Igidiaz. Jika usia bukan perkara yang mampu mengabisi nyawa sebuah hubungan, maka agama tentu mampu—dalam pandangan keluarga Bachtiar. Sementara itu keluarga besar Igi merasa tidak sebanding jika Igi, terpaksa atau dipaksa, menikahi Prita. Pram sering membayangkan Igi mempunyai vagina sedangkan Margaret mempunyai penis, dan dia terbahak-bahak dalam kesedihan, karena hanya Margaret lah yang berani menentang aturan di dalam keluarganya.
“Nggak boleh ada istilah ningrat dan jelata! Aku tetap pilih Pram, Pa, Ma ... aku cinta dia!”

Kegigihan Margaret, kala itu, juga dia tunjukkan dalam hal keyakinan. Bagi Margaret, ketika cinta sudah bicara, dia rela pindah keyakinan demi Pram.
Pop-up muncul di bagian bawah layar laptop; suatu peristiwa yang langka mengingat frekuensi Margaret online di dunia maya saingan sama gerhana matahari. Mencoba mengirim pesan tadipun sekadar iseng-iseng berhadiah karena Pram justru berniat menelepon Margaret meskipun sangat besar kemungkinan panggilannya memasuki kotak voice message.
Cepat mata Pram membaca balasan pesan Facebook dari Margaret.
Ada apa!
Bahkan untuk menggunakan tanda tanya pun Margaret enggan. Pram tersenyum. Sekasar apa pun Margaret memperlakukannya, perasaannya pada perempuan ini tetap sama.
Aku pengen nanya sesuatu.
Tanya apa!
Lagi di mana?
Sebenarnya bukan itu yang ingin Pram tanyakan pada Margaret.
Baru pulang dari Wakatobi.
Menang lomba lagi?
Iya.
Sekarang di Jakarta?
Yess.
Pram menghela nafas panjang. Jemarinya mengetik secepat yang dia bisa.
Kawah?
Iya, Mar. Kawah. Ada dua kawah.
Kawah ... Tangkuban Perahu?
Bukan.
Aku nggak tahu.
Kalau kamu dapat informasinya, tolong kabarin aku, ya.
OK!
Trims, Mar :)
Pram membuka halaman profil Facebook Margaret. Foto profilnya sudah berganti. Sebelumnya Margaret memasang foto dirinya bersama teman laki-laki sedang memakai pakaian adat Minahasa. Kini foto profil Margaret hanya memakai kaos biru, celana pendek hitam selutut, dan sandal gunung yang talinya juga berwarna biru. Pram memperbesar foto profil tersebut. Kulit Margaret nampak lebih gelap—gosong, hasil terpanggang matahari.
Pram tidak bisa menyalahkan Margaret jika mantan pacarnya itu sering ‘membentak’nya dengan ‘tanda seru’. Pertama, mereka tidak pernah bermusuhan. Kedua, Margaret lah pihak yang memutuskan untuk menjauh—dan berpisah. Ketiga, alasan Margaret memutuskan untuk menjauh—dan berpisah bukan datang dari Pram melainkan Prita. Keempat, sampai sekarang Pram masih berusaha menjalin komunikasi dengan Margaret: SMS yang dibalas sesuka hati, telepon yang lebih sering berbelok pada voice message. Kalau Margaret sedang online, menggunakan laptop, barulah Pram dapat chatting dengan perempuan itu lewat Facebook. Margaret anti menggunakan gadget super canggih. Telepon genggamnya masih bermerek Nokia tipe 3330, model telepon genggam yang dipakai oleh tokoh Sancai dalam serial Meteor Garden. Semua penjelasan Pram dan bagaimana dia ingin mempertahankan hubungan mereka tidak diindahkan oleh Margaret. Hati perempuan itu telah patah karena terus-terusan menerima badai sindiran, hinaan, bahkan amarah Prita.
Margaret dan Prita ibarat Irak dan Iran pada jaman Irak dipimpin oleh Sadam Hussain. Margaret selalu sinis pada jiwa hura-hura Prita. Sebaliknya Prita membenci gaya hidup dan kegemaran Margaret melancong. Sementara Pram berada di tengah-tengah. Dia tidak mampu membenci yang satu, untuk mencintai yang lain. Cintanya pada Prita dan Margaret bertakaran sama.
“Kamu yakin bakal kawin sama perempuan tukang jalan macam Margaret? Perempuan kayak dia itu mirip pelaut! Punya laki di mana-mana!”

Bukan. Bukan itu alasan kebencian Prita pada Margaret. Semua anggota keluarga Bachtiar, bahkan Karel, mengetahuinya dengan jelas. Paman bungsu Margaret, Igi, adalah sumber kebencian itu. Cinta yang berubah jadi benci memang mengerikan. Siapa-siapa yang berada di sekitar sumber kebencian pun turut dibenci.
Pram menghela nafas panjang. Tangan kanannya menggerakkan mouse, membuka halaman Google. Jemarinya mengetik kata: Sarasta, pada kolom pencarian Google. Dia menebak hasil pencarian Google pasti segala sesuatu berbau India. Bukankah Sarasta identik dengan nama perempuan-perempuan India?
“Hmmm ... Sarasvati,” gumam Pram. Dia meng-scroll down.
Arti Nama SARASVATI | Namafb.com
8 Jun 2010 ... Arti nama SARASVATI untuk bayi perempuan adalah (Dewi). Nama ini berasal dari Hindu.

Sarasta, bukan Sarasvati.” Jari telunjuk Pram menggerakkan mouse. Dia membaca informasi berikutnya ...

Nama original Sarisha berasal dari Bahasa Hindu. Nama ini dikenal memiliki arti memukau.

No!

Nama Sarita dikenal luas. Aslinya berasal dari Bahasa Hindu. Nama spesial anak ini memiliki arti aliran sungai.

Pram mengganti kata kunci pada pencarian Google: Sarasta dan kawah.
Tidak ada informasi spesifik tentang Sarasta dan kawah. Pram membaca headline demi headline. Hasilnya nihil. Ada yang terlewatkan. Pram memaksa memori kembali pada mimpinya. Apa yang telah dia lewatkan?
Angin, kabut, kawah. Apa yang aku lewati?
Pram mengelus alisnya, berusaha mencari clue mimpi anehnya.
Warna! Kenapa aku lupain warna?
Lagi, Pram mengetik kata kunci: kawah warna hijau dan kawah warna merah.
Danau Kelimutu Kembali Berubah Warna – Kompas.com
... warna hijau. Sekarang Danau Kelimutu menjadi merah, putih dan hijau. ... “Memang ada asap di kawah dan benar ada perubahan warna ketiga danau tersebut. Saat ini kami masih ...

analisis kronologis pembentukan danau kelimutu dari
Rekaman perubahan warna air kawah pada 1997 dan antara 2002 – 2006 memperlihatkan ... dan tahun 2002 warna air berubah 3 kali, masing-masing menjadi warna hijau pupus dan merah marun.
Dieng -  Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material ... Telaga: Telaga Warna, sebuah telaga yang sering memunculkan nuansa warna merah, hijau, biru, putih, dan ...

Mata Pram memicing. Anak-anak pikirannya berlomba-lomba mencapai sesuatu. Kali ini dia tidak mengirim pesan pada Margaret. Dia meraih Samsung Galaxy S5 dari samping laptop. Dihubunginya Margaret. Menunggu beberapa saat, suara statis perempuan terdengar.
Ah! Voice message!
Tidak jera, Pram kembali menghubungi Margaret. Dua kali, tiga kali, empat kali ... pada percobaan kelima, suara Margaret terdengar.
“Apa lagi!?” bentak Margaret dari seberang.
“Bisa kita ketemu?”
What?
“Ini penting, Mar. Kalau nggak penting, untuk apa aku ...”
“Lusa.”
“Besok.”
“Lusa. Besok saya punya janji dengan orang Internationalle Media. Aaah, untuk apa saya ceritakan ke kamu? Toh kamu dan keluargamu nggak peduli ...” Margaret tertawa sinis. “Kehidupan saya nggak penting di mata keluarga kamu.”
“Mar, yang benci kamu cuma Prita. Dan sebenarnya dia nggak benci kamu, dia benci Om Igi. Dia benci karena perasaannya hancur, Mar.” Pram tahu penjelasannya tidak berarti apa-apa untuk Margaret.
“...”
“Lusa. Oke. Deal.” Pram mengalah.
Sambungan telepon diputus sepihak. Pram ternganga, geleng-geleng kepala, mendengar nada panjang di  kupingnya. Tidak bisa kah bersopan-santun mengucapkan ‘sampai jumpa?’.
“Bang Pram!” Karel muncul di ruang kerja Pram, menampakkan wajah berseri-seri seakan-akan dia baru saja menemukan harta karun yang dijaga ketat oleh Ksatria Templar, atau harta karun negeri yang paling dicari-cari: Atlantis.
“Karel. Ada apa?” tanya Pram. Jemarinya lentur bergerak di atas keyboard, mengetik kada kunci: legenda bidadari di Danau Kelimutu –Sarasta.
“Saya sudah tahu bagaimana caranya kita mengartikan mimpi Abang,” Karel menarik kursi, menghempaskan pantat di situ, menebar aroma tembakau.
“Oh ya?” tangan Pram yang hendak meraih mouse, berhenti.Bagaimana?”
INTERNET!
Pram menggeram kesal. Kadang-kadang sopir keluarganya ini telat loading.
“Saya sudah tahu, Karel.”
“Tafsir mimpinya?”
Pram menggeleng. S5-nya berdering, notifikasi BBM.
Saya punya info, Bang! Tadi Avila nelpon ...
Pram tercekat membaca deretan pesan BBM dari salah seorang mata-matanya, Subhan. Benarkah kebetulan itu hanya kepercayaan bodoh manusia? Buru-buru dia me-redial nomor telepon genggam Margaret, berharap dijauhkan dari voice message a la Margaret.
“Bang,” Karel merasa terabaikan.
“Pssst. Sabar, Karel.” Pram menyilang telunjuk di bibir. “Mar ...”
“Lusa. Deal!” teriak Margaret dari seberang. Dia berang. “DEAL!
“Bukan itu.”
“...”
“Kawah itu ...”
“Kawah apa!?”
“Kamu pernah ke Pulau Flores? Kamu pernah tahu Danau Kelimutu?” tanya Pram. Dia yakin Margaret pernah ke Pulau Flores. Pertanyaannya hanyalah basa-basi.
“Flores itu luas. Danau Kelimutu, di Ende.”
“Trims, Mar. Lusa aku tunggu di kantor.”
Pram menatap Karel. Yang ditatap balas menatap dengan keluguan maksimal. “Bemana—gimana, Abang?”
“Kamu tahu Danau Kelimutu?”
“Tahu, Bang. Di Ende. Sama ngetopnya dengan Pulau Komodo. Tapi ... jauh dari Pulau Lembata. Kenapa dengan Danau Kelimutu?”
“Kamu ingat mimpiku?”
Sesaat Karel terdiam. Coba mengingat. “Ah! Kawah warna hijau dan warna merah! Tapi kan Danau Kelimutu itu punya tiga kawah, Bang. Sedangkan di mimpi Abang hanya dua.”
“...”
“Atau ...”
“Atau apa?”
“Semacam televisi nih, Bang. Kawah ketiga letaknya berjauhan dengan dua kawah yang berdampingan, jadi ... pasti tidak cukup masuk ke layar mimpi, Abang.”
Pram terbahak mendengar teori Karel.
“Bang, boleh saya ijin empat jam?” pinta Karel. “Hari ini Abang tidak ke mana-mana kan?”
“Mau ke mana?”
“Ambil titipan kopi, jagung titi, dan kue rambut di Ambros ...” Karel memainkan alisnya.
“Kalau ada kopi dan jagung titi ... lima jam boleh lah. Jangan lebih dari lima jam,” ingat Pram.
“Siap, Komandan!”
Pram disusupi semangat bak nyala api untuk meluruskan banyak hal. Dia merasa berkewajiban untuk melakukannya. Benang merah antara mimpi (yang dia percayai bukan sekadar mimpi biasa) yang berujung pada Danau Kelimutu dengan fakta informasi yang disampaikan oleh Subhan, mulai berkait. Dia hanya meragukan satu perkara: kebenaran (jika memang benar) koneksi antara perempuan di dalam mimpinya, Sarasta, dengan pencariannya. Apa hubungannya perempuan di dalam mimpinya dengan laki-laki itu.
Mimpi yang sama ... dua kali ... mustahil hanya kebetulan.
Namun ... delapanbelas jam kemudian, semangatnya luntur. Margaret membatalkan rencana.
Sorry. Tawarannya begitu mendadak. Sorry,” suara Margaret penuh penyesalan. “Kamu bisa pergi ke sana bareng Karel, nggak usah nungguin aku pulang.”
“Nggak bisa. Aku udah terbiasa nungguin kamu, Mar. Kita tetap ke sana ... sama-sama.”
“Tapi sebulan itu lama.”
“Nggak masalah.”
“Terserah kamu. Aku nggak mau disalahkan kalau urusan kamu di sana berantakan ...”
“Nggak akan berantakan. Asal ... sama kamu.”
Okay. Deal.
Harus menunggu ...
Pram membuka website Tabloit online Perempuan Hebat Kita yang diasuhnya. Perempuan yang mengisi profil Perempuan Hebat Kita edisi Februari 2015 adalah Valencia Mieke Randa, atau Silly, penggagas Blood For Life. Sebuah gerakan yang luar biasa. Karena, hanya melalui jejaring sosial mereka mampu menggerakkan nurani penduduk Indonesia (dari masing-masing wilayah) mendonorkan darah untuk orang lain yang membutuhkan, yang sama sekali tidak dikenal oleh para pendonor tersebut. Kisah-kisah dari para pendonor dari Blood For Life sangat menyentuh.
Seandainya Perempuan Hebat Kita benar diangkat menjadi salah satu program yang akan tayang di MahamediaTV, maka karir Pram semakin cemerlang.
Namun apa lah artinya karir cemerlang jika tidak ada cinta seorang perempuan bersamanya?


***
Bersambung

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak